Liputan6.com, Jakarta Kementerian Keuangan (buka suara) terkait protes buruh atas penetapan Upah Minimum Provinsi atau UMP 2024 yang hanya naik tipis. Padahal, para pekerja menuntut kenaikan UMP hingga 15 persen di tahun depan.
Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo mengatakan, kenaikan UMP tahun 2024 merupakan wewenang dari Kementerian Ketenagakerjaan bersama serikat buruh dan pengusaha. Meski begitu, Kemenkeu berupaya untuk menjaga laju inflasi demi melindungi daya beli kaum buruh.
Baca Juga
"Kalau UMP domain Kemnaker, tripartit dengan Apindo dan serikat buruh. Dari sisi kementerian keuangan tidak terlibat tapi inflasi kita jaga," ujar Prastowo kepada awak media di Senayan Park, Jakarta, Jumat (24/11).
Saat ini, fokus Kemenkeu adalah terus berupaya mengantisipasi dampak lonjakan inflasi kepada masyarakat. Salah satunya kaum buruh.
Advertisement
"Kami tentu mengamati dan juga mengantisipasi dampaknya," ucapnya.
Kekhawatiran Kaum Buruh
Terkait kekhawatiran kaum buruh akan tergerusnya daya beli akibat kenaikan UMP tahun depan masih lebih rendah dari laju inflasi. Prastowo mengaku akan mengikuti perkembangan data-data di lapangan yang ada.
"Nanti kita lihat ya, di konpres (APBN) yang per bulan Oktober berapa," ucapnya.
Lanjutnya, Kemenkeu juga tidak akan mengenakan pajak bagi pekerja dengan pendapatan kurang dari Rp4,5 juta per bulan. Sementara buruh yang memiliki pendapatan di atas Rp4,5 juta akan dikenakan pajak.
"Kalau untuk karyawan sendiri kita memberikan insentifnya kan PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak, disingkat PTKP) itu Rp4,5 juta. Sebenarnya otomatis bagi karyawan yg penghasilannya belum melebihi Rp4,5 juta kan tidak kena pajak. Jadi, di situ saya rasa bentuk dukungan pemerintah," pungkas Prastowo.
Â
Â
Buruh Tolak Kenaikan UMP
Sebelumnya, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak kenaikan upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta tahun 2024 yang hanya Rp165.583 atau 3,38 persen.
Sehingga UMP pegawai di Jakarta tahun 2024 sebesar Rp5.067.381.
Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan kenaikan UMP membuat buruh susah. Mengingat harga bahan kebutuhan pokok dari pangan sampai papan mengalami kenaikan.
"Jika kenaikannya hanya Rp165 ribu, maka bisa dipastikan buruh bakal nombok. Karena harga beras saja naik 40 persen, telur naik 30 persen, transportasi naik 30 persen, sewa rumah naik 50 persen," beber Said Iqbal, di Jakarta Rabu (22/11).Â
Apalagi kenaikan UMP tahun 2024 jauh lebih rendah dibandingkan kenaikan gaji PNS, TNI/Polri maupun para Pensiunan.Â
Diketahui, gaji aparatur sipil negara (ASN) dan pegawai negeri sipil (PNS) TNI dan Polri naik hingga 8 persen. Sedangkan kenaikan uang pensiunan PNS mencapai 12 persen.
Â
Â
Advertisement
Demo Buruh Tuntut UMP DKI Jakarta 2024 Sebesar Rp 5,6 juta
Puluhan buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Logam Elektronik dan Mesin Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP LEM SPSI) dan Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia DKI Jakarta menggelar demo di depan Balai Kota DKI Jakarta, Senin (20/11/2023).
Mereka menuntut Upah Minimum Provinsi (UMP) 2024 DKI Jakarta sebesar Rp 5,6 juta dari sebelumnya mengusulkan Rp 6 juta.
Ketua DPC SPSI Jakarta Timur, Endang Hidayat, mengatakan angka yang dituntut merupakan angka yang realistis untuk memenuhi kebutuhan standar di Ibu Kota.
"Rp 5,6 juta realistis. Kami dari buruh DKI Jakarta hari ini menyuarakan agar UMP DKI Jakarta untuk tahun 2024 naik menjadi Rp5,6 juta. Semoga menjdi renungan pak Gubernur," ujar Endang di atas mobil terbuka dalam orasinya.
Usulan kenaikan UMP DKI Jakarta yang diorasikan para buruh tersebut sebagai bentuk kecemburuan terhadap Pemerintah yang menaikkan gaji ASN Pusat dan Daerah/TNI/Polri sebesar 8 persen pada 2024. Sedangkan, untuk buruh kenaikannya diprediksi hanya sedikit.
"ASN naik 8 persen masa buruh naik 3 persen, untuk itu Kami menyuarakan agar UMP DKI Jakarta untuk tahun 2024 naik menjadi Rp5,6 juta," ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Pimpinan Daerah FSP RTMM-SPSI DKI Jakarta Kusworo, mengatakan pengaturan kenaikan UMP 2024 yang diatur dalam PP 51 tahun 2023 yang merupakan perubahan atas PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, dinilai tidak sesuai dengan kondisi buruh di lapangan.
"Kita tahu bahwa PP 51 itu revisian dari PP 36 yang masih kalau ngomongin sih masih kakak beradik, hanya dibedakan saja. Pinter-pinternya penguasa saja," ujar Kusworo.