Liputan6.com, Jakarta Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, saat ini upah rata-rata buruh Indonesia adalah Rp 3,5 juta per bulan. Bila dipotong iuran Tapera 3% per bulan maka sekitar 105.000 per bulan atau Rp. 1.260.000 per tahun.
Karena Tapera adalah Tabungan sosial, maka dalam jangka waktu 10 tahun sampai 20 tahun ke depan, uang yang terkumpul adalah Rp 12.600.000 hingga Rp 25.200.000.
Advertisement
“Pertanyaan besarnya adalah, apakah dalam 10 tahun kedepan ada harga rumah yang seharga 12,6 juta atau 25,2 juta dalam 20 tahun ke depan? Sekali pun ditambahkan keuntungan usaha dari Tabungan sosial Tapera tersebut, uang yang terkumpul tidak akan mungkin bisa digunakan buruh untuk memiliki rumah," kata dia dikutip Kamis (30/5/2024).
Advertisement
“Jadi dengan iuran 3% yang bertujuan agar buruh memiliki rumah adalah kemustahilan belaka bagi buruh dan peserta Tapera untuk memiliki rumah. Sudahlah membebani potongan upah buruh setiap bulan, di masa pensiun atau saat PHK juga tidak bisa memiliki rumah,” ujar Said Iqbal.
Alasan kedua mengapa Tapera membebani buruh dan rakyat saat ini adalah, dalam lima tahun terakhir ini, upah riil buruh (daya beli buruh) turun 30%. Hal ini akibat upah tidak naik hampir 3 tahun berturut-turu dan tahun ini naik upahnya murah sekali.
Bila dipotong lagi 3% untuk Tapera, tentu beban hidup buruh semakin berat, apalagi potongan iuran untuk buruh lima kali lipat dari potongan iuran pengusaha.
“Dalam UUD 1945 tanggungjawab pemerintah adalah menyiapkan dan menyedikan rumah untuk rakyat yang murah, sebagaimana program jaminan Kesehatan dan ketersediaan pangan yang murah. Tetapi dalam program Tapera, pemerintah tidak membayar iuran sama sekali, hanya sebagai pengumpul dari iuran rakyat dan buruh. Hal ini tidak adil karena ketersediaan rumah adalah tanggung jawab negara dan menjadi hak rakyat. Bukan malah buruh disuruh bayar 2,5% dan pengusaha membayar 0,5% ” kata Said Iqbal.
Tapera Membebani Buruh
Dia menyatakan, hal ini juga menjadi alasan mengapa Tapera membebani buruh dan rakyat. Menurutnya, program Tapera tidak tepat dijalankan sekarang sepanjang tidak ada kontribusi iuran dari pemerintah sebagaimana program penerima bantuan iuran dalam program Jaminan Kesehatan
Dia juga menilai program Tapera terkesan dipaksakan hanya untuk mengumpulkan dana masyarakat khususnya dana dari buruh, PNS, TNI/Polri, dan masyarakat umum.
"Jangan sampai korupsi baru merajalela di Tapera sebagaimana terjadi di ASABRI dan TASPEN. Dengan demikian, Tapera kurang tepat dijalankan sebelum ada pengawasan yang sangat melekat untuk tidak terjadinya korupsi dalam dana program Tapera," tutup Saiq Iqbal.
Masalah Iuran Tapera, Banyak Menteri Terlibat
Revisi Peraturan Pemerintah mengenai Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) memancing berbagai reaksi dari sejumlah pihak. Pasalnya sasaran peserta Tapera kini tak lagi hanya aparatur sipil negara (ASN), tapi juga pekerja swasta hingga mandiri.
Tak sedikit buruh maupun pemberi kerja mengaku keberatan terhadap kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 ini. Sebelum Tapera, para pekerja telah dikenai beban potongan gaji mulai dari Pajak Penghasilan (PPh Pasal 21), BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, dan lainnya.
Menanggapi kegaduhan ini, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sempat meminta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan Kementerian Keuangan agar lebih gencar melakukan sosialisasi terhadap kebijakan baru itu.
"Itu musti didalami lagi dengan sosialisasi oleh Kementerian PUPR maupun Kementerian Keuangan," ujar Menko Airlangga pada Rabu, 29 Mei 2024.
Adapun jika merujuk PP Nomor 21 Tahun 2024, menteri yang punya wewenang dalam pengurusan Tapera tidak hanya dua itu saja.
Mengutip Pasal 15 ayat (1) PP 21/2024, Kamis (30/5/2024), besaran simpanan peserta Tapera ditetapkan sebesar 3 persen, dengan tanggungan pemberi kerja 0,5 persen dan pekerja 2,5 persen.
Pasal 15 ayat (4) menulis, dasar perhitungan untuk menentukan besaran kalian simpanan peserta diatur oleh beberapa menteri berbeda, tergantung klasifikasi pekerja.
Advertisement
Menteri yang Bertanggungjawab
"Pekerja yang menerima Gaji atau Upah yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah (ASN dan PNS) diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan (Menteri Keuangan) dengan berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara (Menteri PANRB)," tulis PP 21/2024 Pasal 15 ayat (4a).
Sementara untuk karyawan BUMN, BUMD, badan usaha milik desa, hingga pekerja swasta diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan (Menteri Ketenagakerjaan).
Di sisi lain, para pekerja mandiri yang tidak terikat dengan suatu instansi/perusahaan semisal wirausahawan akan diatur langsung oleh Badan Pengelola Tapera (BP Tapera).
"Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan, dan Komisioner BP Tapera dalam mengatur dasar perhitungan untuk menentukan perkalian besaran Simpanan Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perumahan dan kawasan permukiman (Menteri PUPR)," tulis Pasal 15 ayat (5).