Liputan6.com, Jakarta - Beban ekonomi dampak polusi udara dari pengoperasian tiga PLTU berbasis batu bara di Jawa Barat dan Banten mencapai USD 885 juta atau Rp 13,1 triliun per tahun. Ketiga PLTU tersebut yakni Cirebon 1, Pelabuhan Ratu 1-3, dan Suralaya 1-4.
hal ini hasil darie penelitian yang dilakukan oleh Centre for Research Energy and Clear Air (CREA). Angka ini muncul akibat meningkatnya risiko dan insiden penyakit pernapasan, serta menurunnya produktivitas ekonomi. Tak hanya dampak ekonomi, ketiga PLTU ini juga menyebabkan 1.263 kematian setiap tahun.
Advertisement
Baca Juga
Analis CREA Katherine Hasan memaparkan, beban ekonomi dari PLTU Cirebon 1 mencapai Rp 4,57 triliun, PLTU Pelabuhan Ratu 1-3 Rp 4,35 triliun, sedangkan PLTU Suralaya 1-4 Rp 4,22 triliun.
Advertisement
"Dari sisi kematian, emisi polutan udara dari PLTU Cirebon 1 menyebabkan 441 kematian, PLTU Pelabuhan Ratu 1-3 mengakibatkan 421 kematian, sedangkan PLTU Suralaya 1-4 menimbulkan 401 kematian," kata dia dalam keterangan tertulis, Rabu (27/6/2024).
Berdasarkan riset terkini CREA berjudul “Manfaat Kesehatan dan Ekonomi dari Pensiun Dini Pembangkit Listrik Batubara Pertama di Bawah JETP Indonesia”, dua proyek percontohan yang masuk dalam JETP CIPP hanya mampu mengatasi sebagian polusi udara dari PLTU batu bara.
Apabila 10 PLTU dengan dampak kesehatan tertinggi serta dua kompleks dengan umur operasi cukup tua yang berlokasi di Pulau Jawa dapat disasar sebagai kandidat pensiun dini, Indonesia akan terhindar dari dampak di masa depan sekitar lima kali lipat.
Saat ini, pengoperasian PLTU berdampak tinggi di sekitar Pulau Jawa diperkirakan menyebabkan 6.928 kematian akibat dampak polusi udara dan biaya ekonomi sebesar USD4,8 miliar (Rp71,3 triliun) setiap tahun.
Polluter Pays
Katherine melanjutkan, seiring berkembangnya perekonomian, suatu negara secara teori akan mampu menyediakan layanan kesehatan esensial yang memadai bagi warganya. Dalam hal dampak kesehatan terkait polusi udara dari sumber emisi apapun, termasuk pembangkit listrik berbasis batu bara, dapat dikatakan semua dampak negatif terhadap kesehatan pada akhirnya membebani pembayar pajak.
"Beban ini termasuk biaya yang harus dibayarkan negara dan individu, dari biaya kesehatan, penurunan produktivitas, serta risiko kematian dini,” ucap Katherine.
Pemerintah bisa memberlakukan prinsip "polluter pays" di mana pelaku harus membayar biaya pengendalian polusi serta dampak yang disebabkan oleh polusi yang dilepaskan.
"Pada akhirnya, pemerintah atau negara yang mempunyai wewenang atas pengeluaran kesejahteraan publik, dan juga yang mempunyai kuasa untuk mencegah lepasnya polusi yang berbahaya terhadap kesehatan demi perlindungan masyarakatnya,” kata Katherine menegaskan.
Advertisement
Risiko Penyakit Paru-paru
Sementara itu, Program Director Kesehatan untuk Bumi (KEBUMI) dr Raynaldy Budhy Prabowo mengatakan, saat ini faktor risiko penyakit paru-paru akibat paparan polusi udara terus meningkat. Faktor risiko PPOK dari polusi udara kini berada di level 22,4-36,6%, sedangkan asma tercatat di level 27,95%. Sementara itu, penyakit pneumonia di level 10-32%, kanker paru-paru di level 3-12,5%, dan tuberkulosis (TBC) di level 1,2-12,2%,
Berdasarkan data-data tersebut, dr Raynaldy berharap di masa depan tenaga kesehatan (nakes) bisa lebih siap lagi dalam memitigasi dampak perubahan iklim, termasuk polusi udara. Untuk membantu kesiapan nakes memahami dan mendorong partisipasi aktif sesuai prinsip promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, KEBUMI tengah menyiapkan kurikulum berjudul "Climate and Health".
“Negara kita menggunakan sistem penjaminan kesehatan gotong royong yang melibatkan partisipasi masyarakat. Sehingga dampak kesehatan yang muncul, sebenarnya menjadi permasalahan bersama bagi pemerintah dan masyarakat. Oleh karenanya, dalam upaya mitigasi dampak kesehatan yang berpotensi muncul, sebaiknya pemerintah dan pengelola juga mengajak keterlibatan organisasi profesi kesehatan dan masyarakat terdampak agar beban yang muncul tidak menimbulkan ketimpangan,” kata dr Raynaldy.