Ekspansi PLTU Captive di Indonesia Berpotensi Meningkatkan Biaya Listrik

PLTU baru akan menghadapi banyak tantangan, baik dari sisi finansial maupun regulasi. Di bawah kebijakan yang ada, PLTU baru hanya dapat beroperasi hingga tahun 2050.

oleh Arthur Gideon Diperbarui 21 Feb 2025, 16:30 WIB
Diterbitkan 21 Feb 2025, 16:30 WIB
Perahu nelayan di perairan laut dekat PLTU Pelabuhanratu Sukabumi (Liputan6.com/Fira Syahrin).
Perahu nelayan di perairan laut dekat PLTU Pelabuhanratu Sukabumi (Liputan6.com/Fira Syahrin).... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Analisis terbaru think tank pusat kajian energi global EMBER menyebutkan, dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), terdapat rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara secara signifikan. Rencana tersebut mencakup penambahan 26,8 GW PLTU baru selama tujuh tahun ke depan, di mana lebih dari 20 GW berasal dari ekspansi PLTU captive.

RUKN ini berpotensi menghambat pencapaian target skenario rendah emisi dan Just Energy Transition Partnership (JETP), serta juga meningkatkan biaya listrik.

Analis Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) Katherine Hasan mengatakan, kurangnya kejelasan mengenai berapa banyak kapasitas daya listrik tambahan yang masih tersisa dalam perencanaan nasional membahayakan upaya Indonesia untuk mewujudkan Visi Emas 2045.

"Dengan adanya rencana pertumbuhan yang sebagian besar terpusat di Pulau Sulawesi dan Maluku Utara, mereka yang tinggal di dekat lokasi industri tempat PLTU akan beroperasi harus menanggung beban kesehatan dan ekonomi tertinggi akibat paparan polusi, belum lagi dampak lingkungan yang tidak dapat dipulihkan dari penyebaran partikel beracun.” jelas dia dalam keterangan tertulis, Jumat (21/2/2025).

Laporan ini menemukan bahwa PLTU baru akan menghadapi banyak tantangan, baik dari sisi finansial maupun regulasi. Di bawah kebijakan yang ada, PLTU baru hanya dapat beroperasi hingga tahun 2050, harus mengurangi emisi hingga 35% dalam waktu 10 tahun dan tidak akan mendapatkan keuntungan dari harga batu bara DMO (domestic market obligation), sehingga memaksa operator untuk membayar harga pasar.

 

Biaya Lebih Mahal

Biaya pembangkitan listrik dari PLTU captive yang baru akan lebih tinggi daripada listrik dari PLN dan dari energi terbarukan.

Perkiraan menunjukkan biaya tersebut dapat mencapai USD 7,71 sen per kWh, jauh lebih tinggi dibandingkan biaya pokok pembangkitan PLN di tahun 2020 sebesar USD 7,05 sen per kWh dan tarif terbaru proyek pembangkit listrik tenaga surya dan bayu yang berkisar antara USD 5,5 sampai USD 5,8 sen per kWh.

"Perluasan PLTU captive di saat pasar global beralih ke energi bersih merupakan keputusan yang kurang tepat. Indonesia memiliki peluang yang besar untuk meningkatkan energi terbarukan, sebagai alternatif yang lebih berkelanjutan," tambah Dody Setiawan.

 

Perlu Evaluasi

Katherine Hassan melanjutkan, berkomitmen pada jalur yang jelas untuk menghentikan penggunaan batu bara, sambil memprioritaskan energi terbarukan, akan membantu Indonesia mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi semua negara yang bergantung pada batu bara dalam beberapa dekade penting ini.

"Sekaranglah saatnya bagi Indonesia untuk mewujudkan keterjangkauan dan keamanan energi sebagaimana diuraikan dalam RUKN," ujar dia.

Evaluasi ulang rencana ekspansi PLTU captive perlu dilakukan, serta juga penegakan peraturan emisi dan percepatan energi terbarukan, untuk membantu Indonesia agar tetap berada di jalur yang tepat, sesuai komitmen iklimnya, mengurangi biaya energi jangka panjang, menarik investasi energi bersih, dan meningkatkan keberlanjutan produk hilirisasi.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya