Rupiah Tertekan di Tengah Penantian Cadangan Devisa Indonesia

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede memprediksi rupiah akan berada di kisaran 16.275 per dolar AS sampai dengan 16.375 per dolar AS pada perdagangan hari ini.

oleh Arthur Gideon diperbarui 05 Jul 2024, 10:16 WIB
Diterbitkan 05 Jul 2024, 10:15 WIB
Donald Trump Kalah Pilpres AS, Rupiah Menguat
Pada awal perdagangan Jumat (5/7/2024), nilai tukar rupiah melemah 11 poin atau 0,07 persen menjadi 16.341 per dolar AS dari sebelumnya sebesar 16.330 per dolar AS. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mengalami tekanan di awal perdagangan Jumat ini. Investor tengah menanti rilis cadangan devisa Indonesia yang akan diumumkan pada hari ini.

Pada awal perdagangan Jumat (5/7/2024), nilai tukar rupiah melemah 11 poin atau 0,07 persen menjadi 16.341 per dolar AS dari sebelumnya sebesar 16.330 per dolar AS.

"Dari dalam negeri, Bank Indonesia pada hari ini akan merilis data cadangan devisa bulan Juni," kata Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede dikutip dari Antara. 

Cadangan devisa Indonesia pada Juni 2024 diperkirakan akan berkisar USD 137,5-139,5 miliar dari posisi Mei yang tercatat USD 139 miliar. Penurunan perkiraan cadangan devisa ini sejalan dengan peningkatan sentimen risk off di pasar keuangan global sepanjang Juni.

Sementara itu, volume perdagangan obligasi pemerintah tercatat sebesar Rp 15,12 triliun, lebih tinggi dibandingkan volume perdagangan hari sebelumnya sebesar Rp 11,80 triliun.

Pelaku pasar akan mencermati rilis data tenaga kerja AS bulan Juni yang akan diumumkan malam ini di mana Non-Farm Payroll (NFP) diproyeksikan akan berkisar 190.000 dari bulan sebelumnya 272.000, sementara tingkat pengangguran diperkirakan akan stabil di level 4 persen.

Josua memprediksi rupiah akan berada di kisaran 16.275 per dolar AS sampai dengan 16.375 per dolar AS pada perdagangan hari ini.

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, nilai tukar rupiah terancam akan terus mengalami pelemahan.

Hal itu dipengaruhi oleh Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (the Fed) yang diproyeksikan tidak akan menurunkan suku bunga dengan cepat.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Gara-gara The Fed

20161109- Donald Trump Unggul Rupiah Terpuruk-Jakarta-Angga Yuniar
Petugas menunjukkan mata uang dolar dan mata uang rupiah di penukaran uang di Jakarta, Rabu (9/11). Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada saat jeda siang ini kian terpuruk di zona merah. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sri Mulyani menjelaskan, sentimen dari global adalah adanya sekarang makin confirm bahwa suku bunga Federal Reserve tidak akan mengalami penurunan sebanyak seperti yang diharapkan pelaku pasar. 

"Market dalam hal ini tadinya mengharapkan adanya penurunan 4 hingga 5 kali pada tahun ini," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa, Jakarta, Kamis (27/6/2024).

Lantaran Bank Sentral Amerika Serikat The Federal Reserve (The Fed) masih mempertahankan suku bunga acuan di level 5,25 persen - 5,50 persen. Sehingga penurunan suku buka diramal akan lambat, bahkan diproyeksikan hanya menurunkan sekali dalam tahun ini.

"Fed Fund Rate masih mengalami posisi yang stabil di 5,5 persen dan tidak terjadi tanda-tanda mereka akan segera menurunkan, bahkan mungkin yang paling optimis penurunannya hanya satu kali di tahun ini," ujarnya.

Hal ini tentu membuat ekspektasi market menjadi kecewa sehingga menimbulkan suatu reaksi, terutama terlihat pada bulan April yang lalu hingga Mei dimana dolar mengalami penguatan dan mata uang rupiah terdepresiasi atau mengalami pelemahan.


Masih Lebih Baik

FOTO: Akhir Tahun, Nilai Tukar Rupiah Ditutup Menguat
Karyawan menunjukkan uang rupiah dan dolar AS di Jakarta, Rabu (30/12/2020). Nilai tukar rupiah di pasar spot ditutup menguat 80 poin atau 0,57 persen ke level Rp 14.050 per dolar AS. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Namun, depresiasi mata uang rupiah masih diklaim lebih baik dibandingkan negara berkembang lainnya seperti Brazil yang depresiasinya lebih dalam.

"Mata uang rupiah kita mengalami depresiasi 6,58 persen, naun jika dibandingkan dengan beberapa negara emerging yang lain seperti Brazil dipresiasinya jauh lebih dalam, atau kalau anda sekarang baru mengikuti Jepang mengalami depresiasi yang sangat dalam," ujarnya.

Oleh karena itu, Menkeu waspadai perkembangan dari pasar keuangan. Utamanya akan memperhatikan sentimen di dalam negeri dan dari global agar rupiah tidak terus terdepresiasi.

"Kita lihat untuk pergerakan nilai tukar Rupiah kita mencapai 16.431 per dolar AS pada Mei dan ini sempat mengalami peningkatan, baik karena sentimen di dalam negeri maupun sentimen yang berasal dari global," pungkasnya. 

Beda Rupiah 1998 dengan 2018 terhadap Dolar AS
Infografis Beda Rupiah 1998 dengan 2018 terhadap Dolar AS. (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya