Luar Biasa! Transaksi Perdagangan Karbon 2023 Tembus Rp 84,17 Miliar

Saat ini perdagangan karbon sedang memasuki tahun kedua atau periode terakhir dari fase yang pertama. Perdagangan karbon di subsektor ini diselenggarakan dalam 3 fase.

oleh Tira Santia diperbarui 23 Jul 2024, 12:15 WIB
Diterbitkan 23 Jul 2024, 12:15 WIB
Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dadan Kusdiana, dalam diksuis perdagangan dan bursa karbon Indonesia 2024, Selasa (23/7/2024). (Tira/Liputan6.com)
Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dadan Kusdiana, dalam diksuis perdagangan dan bursa karbon Indonesia 2024, Selasa (23/7/2024). (Tira/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat hasil transaksi perdagangan karbon di tahun 2023 mencapai 7,1 juta ton CO2 ekuivalen atau senilai Rp84,17 miliar.

"Dimana 7,04 juta ton berasal dari transaksi perdagangan emisi melalui mekanisme langsung," kata Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dadan Kusdiana, dalam diskusi perdagangan dan bursa karbon Indonesia 2024, Selasa (23/7/2024).

Saat ini perdagangan karbon sedang memasuki tahun kedua atau periode terakhir dari fase yang pertama. Perdagangan karbon di subsektor ini diselenggarakan dalam 3 fase.

Fase pertama tahun 2023 dan tahun 2024. Kemudian fase kedua adalah tahun 2025 hingga tahun 2027. Terkahir, fase ketiga tahun 2028 hingga 2030.

Kata Dadan, perdagangan karbon akan diterapkan secara bertahap ke seluruh pembangkit tenaga listrik dengan bahan bakar fosil baik yang terhubung kepada jaringan PLN maupun untuk penggunaan sendiri, seperti pembangkit untuk kepentingan sendiri dan juga pembangkit di wilayah usaha non-PLN.

"Jadi, 3 fase tersebut nanti akan secara bertahap meningkatkan dari standar emisinya, standar emisi karbon dioksida untuk pembangkit tenaga listrik, terutama yang berbasis tenaga uap atau menggunakan bahan bakar batubara," ujarnya.

Adapun pada tahun 2023 jumlah peserta dalam perdagangan karbon ini tercatat ada 99 unit pembangkit batubara yang terhubung kepada jaringan PLN dengan kapasitas yang lebih besar atau sama dengan 100 Megawatt.

Untuk tahun ini jumlah peserta menjadi 146 unit dengan adanya tambahan kapasitas unit PLTU batubara dengan kapasitas lebih besar atau sama dengan 25 Megawatt.

"Jadi, kami terus meningkatkan dari sisi peserta yang ikut di dalam perdagangan karbon secara khusus untuk pembangkit tenaga listrik," pungkasnya.

Mengintip Potensi Pasar Perdagangan Karbon Kredit di Indonesia

Mengurangi jejak karbon
Mengurangi jejak karbon. (Foto: Freepik)

Sebelumnya, Anggota Badan Hubungan Legislatif Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN Indonesia), Dede Indra Permana Soediro, menyampaikan pernyataan terkait potensi perdagangan karbon kredit di bursa karbon international. 

Mekanisme perdagangan karbon kredit saat ini telah dilakukan oleh negara-negara maju, dengan adanya insentif berbasis pasar bagi pihak yang berhasil melakukan upaya-upaya penurunan karbon. Di bursa karbon dunia pada tahun 2023 mencatat nilai perdagangan hingga USD 480 miliar atau setara Rp 8.000 triliun.

Dede  menjelaskan Indonesia mempunyai hutan tropis ketiga terbesar di dunia dengan luas area 125,9 juta hektar mampu menyerap 25 miliar ton emisi karbon. 

“Apabila Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dapat memanfaatkan potensi perdagangan karbon kredit maka bisa dibayangkan berapa besar pemasukan negara melalui pajak dan PNBP," kata Dede dalam keterangan resmi, dikutip Minggu (21/7/2024).

Jangan Tertinggal

Ilustrasi emisi karbon (unsplash)
Ilustrasi emisi karbon (unsplash)

Dede Indra Permana yang juga menjabat sebagai Anggota Komisi III DPR RI ini menambahkan, potensi pasar internasional untuk perdagangan karbon kredit ini sangat masif, sayangnya regulasi kita belum memperbolehkan perdagangan karbon kredit di perdagangan internasional. 

“Harapan kami akan ada pembahasan terkait regulasi perdagangan karbon kredit untuk pasar internasional sehingga kita tidak tertinggal dari negara-negara maju yang telah lebih dulu memasuki perdagangan kredit karbon ini,” jelasnya.

Tak hanya itu, Dede menegaskan dengan adanya regulasi ini pastinya akan menambah nilai tambah Pemerintah karena konsen dengan isu yang sedang berkembang.

"Potensi karbon kredit kita terlalu besar untuk hanya diperdagangkan dalam bursa karbon dalam negeri. Alangkah baiknya kita mempunyai payung hukum yang lebih kuat terkait perdagangan karbon kredit di perdagangan internasional." pungkasnya.

  

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya