Prabowo Bidik Solar Sawit B50 di 2025, Indonesia Hemat Rp 309 Triliun

Langkah ini diharapkan akan memangkas biaya impor bahan bakar hingga USD 20 miliar atau Rp.309,7 triliun per tahun.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 28 Agu 2024, 12:30 WIB
Diterbitkan 28 Agu 2024, 12:30 WIB
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto usai menghadiri open house Idul Fitri 1445 Hijriah di kediaman Ketua Harian DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad, Jakarta, Kamis (11/4/2024). (Merdeka.com/Alma Fikhasari)
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto usai menghadiri open house Idul Fitri 1445 Hijriah di kediaman Ketua Harian DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad, Jakarta, Kamis (11/4/2024). (Merdeka.com/Alma Fikhasari)

Liputan6.com, Jakarta Presiden terpilih Indonesia, Prabowo Subianto mengungkapkan bahwa ia akan menerapkan kewajiban pencampuran biodiesel berbasis minyak kelapa sawit wajib sebesar 50 persen pada awal tahun depan.

Langkah ini diharapkan akan memangkas biaya impor bahan bakar hingga USD 20 miliar atau Rp.309,7 triliun per tahun.

"Kami sekarang berada di B35 dan kami akan mempercepat ke B40, B50," kata Prabowo, dikutip dari Channel News Asia, Rabu (28/8/2024).

"50 persen biodiesel yang terbuat dari minyak kelapa sawit, begitu kita mencapai B50, Insya Allah pada akhir tahun ini atau awal tahun depan, kita akan menghemat USD 20 miliar setahun, kita tidak perlu mengirim uang ini ke luar negeri," bebernya.

Sebagai informasi, konsumsi minyak sawit Indonesia telah tumbuh rata-rata 7,6 persen per tahun sejak 2019, menurut data GAPKI, sementara produksi selama periode yang sama telah meningkat kurang dari 1 persen per tahun.

Peningkatan mandat biodiesel akan menghasilkan volume ekspor yang lebih rendah.

Mandat biodiesel sawit Indonesia berlaku untuk transportasi darat, kereta api, mesin industri, dan pembangkit listrik tenaga diesel.

Indonesia juga mengembangkan bahan bakar jet berbahan dasar kelapa sawit dan telah melakukan uji terbang, meskipun penerapan rencana pencampuran biofuel sebesar 3 persen untuk bahan bakar jet pada tahun 2020 sempat tertunda.

Di sisi lain, Asosiasi produsen minyak sawit GAPKI menilai B50 tidak dapat diterapkan pada awal 2025, karena belum diuji.

Asosiasi produsen biofuel Indonesia APROBI juga mengatakan produsen perlu waktu untuk menguji bahan bakar B50 dan meningkatkan kapasitas produksi mereka untuk memenuhi permintaan, kata sekretaris jenderal grup tersebut.

Adapun Tatang Hernas Soerawidjaja, pakar biofuel di Institut Teknologi Bandung menyebutkan, industri biodiesel mungkin perlu meningkatkan kualitas produknya untuk memastikan bahan bakar akan tetap stabil untuk pencampuran wajib yang lebih tinggi.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Apa Saja yang Perlu Disiapkan?

Subholding Gas Pertamina terus memperluas utilisasi gas bumi melalui infrastruktur beyond pipeline di Kota Bontang, Kalimantan Timur.
PT Pertagas Niaga (PTGN), Subholding Gas menyuplai LNG perdana bagi industri di Kota Bontang, tepatnya ke PT Energi Unggul Persada (EUP) yang bergerak dalam bidang pengolahan minyak kelapa sawit. (Dok Pertamina)

 

Biodiesel rentan membentuk endapan saat bersentuhan dengan oksigen, terutama selama transportasi dan penyimpanan, yang dapat menyumbat filter mesin, katanya.

"Beberapa produsen biodiesel mungkin perlu memasang peralatan baru untuk memenuhi standar baru, dan ini akan memakan waktu enam bulan. Setelah itu, uji komersialisasi yang tidak hanya menguji bahan bakar pada kendaraan tetapi juga uji penyimpanan, yang membutuhkan waktu enam bulan," kata Tatang.

"Akan lebih bijak untuk menerapkannya paling cepat pada akhir tahun 2025," tambahnya.


Menperin: Nilai Ekonomi Kelapa Sawit Capai Rp 750 Triliun, Setara 3,5% PDB Indonesia

Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita
Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita menyampaikan, kelapa sawit merupakan salah satu program prioritas hilirisasi industri dalam rangka meningkatkan nilai tambah komoditas ekspor. Nilai ekonomi sektor perkelapasawitan hulu hingga hilir nasional mencapai lebih dari Rp750 Triliun, setara dengan 3,5% dari PDB Nasional pada tahun 2023. (Dok. Kemenperin)

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyampaikan, kelapa sawit merupakan salah satu program prioritas hilirisasi industri dalam rangka meningkatkan nilai tambah komoditas ekspor. Nilai ekonomi sektor perkelapasawitan hulu hingga hilir nasional mencapai lebih dari Rp 750 Triliun, setara dengan 3,5% dari PDB Nasional pada tahun 2023.

Hal tersebut disampaikan pada peluncuran Pilot Plant Fraksionasi Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) yang merupakan konsorsium hasil kolaborasi antara Balai Besar Standardisasi dan Pelayanan Jasa Industri Agro Kementerian Perindustrian, Institut Teknologi Bandung, dan PT Rekayasa Industri. 

"Angka ini berpotensi akan terus bertambah melalui inovasi teknologi, dari yang sebelumnya berpusat pada hilirisasi minyak sawit, menjadi semakin luas, termasuk pengolahan biomassa kelapa sawit," jelas Menperin.

Menurut Agus, Pilot Plant Fraksionasi TKKS ini merupakan bukti kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan pelaku bisnis atau yang disebut triple helix terbukti mampu menghasilkan hal yang sangat bermanfaat bagi pengembangan industri nasional.

“Pilot Plant ini merupakan upaya Kementerian Perindustrian yang konsisten menjalankan amanat Presiden RI untuk Hilirisasi Industri berbasis Sumber Daya Alam dan menumbuhkan Industri Hijau yang berkelanjutan, di antaranya melalui pemanfaatan limbah tandan kosong kelapa sawit (TKKS) menjadi produk-produk yang bernilai tambah tinggi,” lanjut dia.

Konsorsium Pilot Plant Fraksionasi TKKS tersebut dikembangkan sesuai dengan amanat Menperin dan mempunyai nilai teknologi yang sangat strategis untuk pengembangan industri berbasis sumber daya terbarukan di masa mendatang.

Pilot Plant ini mampu menghasilkan Glukosa, Xilosa, Lignin (GXL) secara bersamaan. Glukosa merupakan prekursor pembuatan bio etanol, yaitu bahan bakar nabati pencampur bensin (gasoline), sedangkan Xilosa dan Lignin merupakan prekursor pembuatan Bio Fine Chemicals, yaitu bahan kimia berbasis sumber daya terbarukan yang dapat diolah menjadi berbagai produk, antara lain xylitol, benzene, dan toluene.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya