Gapki Luncurkan Buku 'Masih Berjayakah Sawit Indonesia?'

Banyak tuduhan dan fitnah terhadap industri sawit yang dikaitkan dengan label bahwa produk sawit tidak sustainable.

oleh Tira Santia diperbarui 04 Sep 2024, 19:30 WIB
Diterbitkan 04 Sep 2024, 19:30 WIB
GAPKI meluncurkan buku berjudul "Masih Berjayakah Sawit Indonesia? Menghadapi Tuntutan Sustainability Global", di Jakarta, Rabu (4/9/2024). (Tira/Liputan6.com)
GAPKI meluncurkan buku berjudul "Masih Berjayakah Sawit Indonesia? Menghadapi Tuntutan Sustainability Global", di Jakarta, Rabu (4/9/2024). (Tira/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) meluncurkan buku berjudul "Masih Berjayakah Sawit Indonesia? Menghadapi Tuntutan Sustainability Global", di Jakarta, Rabu (4/9/2024).

Buku tersebut ditulis oleh Dewan Pembina GAPKI Joko Supriyono. Menurut dia judulnya terkesan provokatif, namun buku ini ditujukan untuk merenungkan serta mengevvaluasi kebaikan dan manfaat kelapa sawit atau industri kelapa sawit masih bisa dirasakan di masa mendatang.

"Buku ini judulnya sedikit provokatif, sebenarnya ini menginspirasi," kata Joko dalam sambutannya dalam peluncuran Buku tersebut.

Joko menyampaikan bahwa dalam buku ini juga membahas mengenai 'Kejayaan' sawit apakah akan berlanjut di masa mendatang. Kemudian, dalam buku ini akan menjawab aspek-aspek sustainability.

Sebab, banyak tuduhan dan fitnah terhadap industri sawit yang dikaitkan dengan label bahwa produk sawit tidak sustainable. Bahkan, berbagai kelompok kepentingan global selalu menuntut dengan keras agar industri sawit mematuhi prinsip-prinsip sustainability.

Di sisi lain, Joko sebagai penulis juga mencurigai adanya upaya-upaya skala global dengan banyak aktor, mulai lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau kelompok masyarakat sipil, lembaga internasional, kekuatan politik nasional, hingga kekuatan geopolitik global yang secara konsisten menuduh dan membangun presepsi publik yang negatif tentang industri kelapa sawit.

Dampaknya telah menghambat perdagangan minyak sawit, menghalangi pembiayaan untuk industri sawit, dan menimbulkan persepsi negatif tentang produk-produk minyak sawit.

"Inilah yang kita rasakan indikator-indikator ini akan berlangsung terus apa tidak. Masih kah berjaya? Kalau kondisi ini tidak berubah Bagaimana supaya tetap berjaya," ujarnya.

Maka dengan hadirnya buku ini diharapkan bisa menjadi bahan renungan serta evaluasi bagi semua pihak yang sangat mencintai dan bangga pada industri sawit Indonesia.

 

Sawit Sumbang Rp 88,7 Triliun ke APBN 2023, Bagaimana Kebalikannya?

Potret Pekerja Perkebunan Kelapa Sawit di Aceh
Seorang pekerja sedang menebang pohon di perkebunan kelapa sawit di Sampoiniet, provinsi Aceh (7/3/2021). Kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan yang memiliki produksi terbesar di Kabupaten Aceh. (AFP Photo/Chaideer Mahyuddin)

Analis Kebijakan Madya Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (PKPN) Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Nursidik Istiawan mengungkapkan, sektor kelapa sawit telah menyumbang Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp 32,4 triliun dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) berupa Pungutan Ekspor (PE) pada 2023.

Sedangkan untuk pajak, industri sawit telah menyumbang sebesar Rp 50,2 triliun untuk APBN dan Bea Keluar (BK) sebesar Rp 6,1 triliun. Nursidik menjelaskan, kontribusi perkebunan sawit pada APBN akan menjadi feedback bagi pelaku industri di lapangan.

“APBN menyediakan fasilitas perpajakan dan penerimaan PE ke sektor sawit (BPDKS). Dana BPDPKS digunakan untuk sawit dalam bentuk insentif tarif seperti biodiesel, peremajaan sawit rakyat (PSR), dan lainnya,” kata Nursidik dalam acara Press Tour Belitung 2024, Kontribusi Sawit untuk APBN dan Perekonomian, Selasa (27/8/2024).

Nursidik menuturkan dukungan APBN untuk perkebunan sawit pada 2023 yaitu berupa insentif biodiesel senilai Rp 18,5 triliun, Peremajaan senilai Rp 1,7 triliun, Riset senilai Rp 0,1 triliun, dan lainnya Rp 0,5 triliun.

Pergeseran Ekspor

Pada kesempatan yang sama, Nursidik menyebut ada pergeseran dari sisi ekspor yaitu ekspor didominasi oleh produk turunan sejak 2011 dan semakin meningkat dari tahun ke tahun.

“Ini menunjukkan hilirisasi sawit di Indonesia berkembang dengan baik sebagai perbandingan di 2023 Sawit ekspor sawit 10 persen sedangkan produk turunan 90 persen,” pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya