DPR Soroti Aturan Turunan PP 28/2024, Sebut Minim Partisipasi Publik

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang mengatur tentang produk tembakau dan rokok elektronik menuai perdebatan di kalangan pelaku usaha, pekerja, petani, hingga masyarakat.

oleh Septian Deny diperbarui 05 Sep 2024, 21:41 WIB
Diterbitkan 05 Sep 2024, 21:40 WIB
Anggota DPR pada sidang paripurna, Selasa (5/3/2024).
Anggota DPR pada sidang paripurna, Selasa (5/3/2024). (Merdeka.com/ Alma Fikhasari)

 

Liputan6.com, Jakarta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang mengatur tentang produk tembakau dan rokok elektronik menuai perdebatan di kalangan pelaku usaha, pekerja, petani, hingga masyarakat. Aturan ini diklaim diterbitkan secara mendadak tanpa melibatkan dan tidak mengakomodir masukan dari banyak pihak terkait, termasuk sejumlah Kementerian dan Lembaga yang berperan penting dalam sektor ini.

Ketiadaan diskusi terbuka dan Forum Group Discussion (FGD) yang dijanjikan menyebabkan aturan ini menjadi kabur dan sulit dipahami oleh publik. Bahkan dalam skema yang dirancang oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes), aturan dari PP tersebut pun dikebut untuk diselesaikan pada pekan kedua bulan September ini.

Aturan turunan yang masih dalam bentuk Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) itu ditengarai akan memaksa produk tembakau dan rokok elektronik untuk menggunakan kemasan polos (plain packaging) yang mengacu pada ketentuan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).

Mengingat penyusunan beleid yang masih minim pelibatan publik, Komisi IX DPR RI mengkritisi langkah pemerintah yang tidak secara utuh melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk DPR, dalam penyusunan aturan turunan tersebut. Aspirasi itu juga disampaikan dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Kemenkes, Kamis, 29 Agustus 2024 lalu.

Selain minimnya pelibatan publik, penerbitan PP 28/2024 pun dinilai masih luput dalam menjawab beberapa kontroversi yang hadir dalam aturannya. Anggota Fraksi Golkar Komisi IX DPR RI, Dewi Asmara, menyoroti bahwa aturan ini telah luput dalam mempertimbangkan aspek tenaga kerja dan cukai yang menyertai produk tembakau dan rokok elektronik.

“Bahkan dari cukai rokok itu saja, sekian persennya pun masuk dalam anggaran kesehatan. Justru hal ini tidak dipertimbangkan. Inikan menjadi ironis,” kata Dewi dalam Raker di Komisi IX DPR RI.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


DPR Menilai Implementasi PP Kesehatan Bias

Rapat Paripurna
Dasco mengatakan, Rapat Paripurna kali ini dihadiri oleh 237 orang anggota DPR. Artinya, jumlah anggota DPR yang hadir tidak sampai setengahnya dari jumlah total 575 anggota. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Menurut Dewi, fakta ini makin menguatkan anggapan bahwa peraturan yang diterbitkan ini justru berjalan dengan sendiri tanpa mempertimbangkan dampak berbagai pihak. Padahal sedari awal, semangat dan prinsip pembentukan beleid sepatutnya menegaskan bahwa pengawasan ketat pun harus disertai berbagai pertimbangan dari berbagai kalangan dan sektor.

Dewi menyebut, ia belum melihat bagaimana sistem pengawasan yang akan dilakukan pemerintah terkait beleid yang dikeluarkan. Karena jika tidak dilakukan, ia melihat adanya risiko tinggi terhadap penyalahgunaan, seperti marak munculnya rokok-rokok ilegal yang justru akan merugikan.

"Ada risiko yang lebih besar jika masyarakat mulai beralih ke perdagangan rokok ilegal. Kita tidak bisa hanya melihat dari satu sudut pandang. Pemerintah harus mempertimbangkan berbagai aspek untuk menghindari masalah yang lebih besar di kemudian hari,” katanya.

 


Perumusan Kebijakan

Gappri
Cukai rokok memang senikmat kepulan asap tembakau. Bisa dibilang, inilah ATM bagi pemerintah yang tak pernah kering.

Dengan situasi ini, Dewi mendesak pemerintah untuk lebih berhati-hati dalam menyusun dan menerapkan peraturan, serta memastikan bahwa semua pihak terkait dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan untuk mencapai keseimbangan antara kesehatan masyarakat dan keberlanjutan ekonomi lokal.

“Polemik ini terjadi karena masyarakat, pengusaha, petani, maupun tenaga kerja tidak dilibatkan dalam pembicaraaan PP 28. Aturan ini pun seakan dibuat secara kilat,” pungkasnya.

Infografis PHK Hantui Kenaikan Tarif Cukai Rokok
Infografis PHK Hantui Kenaikan Tarif Cukai Rokok (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya