Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengimbau pelaku usaha Indonesia untuk berhati-hati melakukan transaksi perdagangan dengan pihak Bangladesh. Hal ini seiring kondisi politik dan ekonomi di negara tersebut.
Mengutip Antara, Selasa (10/9/2024), imbauan tersebut tertuang dari informasi yang disampaikan Duta Besar RI Dhaka melalui surat Nomor B-00139/Dhaka/240822 perihal Perkembangan Situasi Ekonomi Bangladesh Pasca mundurnya Perdana Menteri Sheikh Hasina dan Antisipasi Transaksi Perbankan.
Baca Juga
Direktur Fasilitasi Ekspor dan Impor Kemendag Iskandar Panjaitan mengingatkan para pelaku usaha Indonesia untuk berhati-hati dalam bertransaksi dengan lembaga maupun perseorangan dari Bangladesh.
Advertisement
"Kami menyampaikan hal tersebut untuk mencegah kerugian yang dapat ditimbulkan dari transaksi perbankan dengan Bangladesh karena kondisi politik dan ekonomi saat ini," tutur Iskandar melalui keterangan di Jakarta, Selasa, 10 September 2024, seperti dikutip dari Antara.
Dalam surat tersebut disampaikan, Bangladesh sedang menghadapi krisis likuiditas. Kondisi ini diperburuk oleh pembatasan penarikan tunai dari bank sentral Bangladesh yaitu Bank Bangladesh. Kondisi ini disertai dengan inflasi yang menembus 11,66 persen dan tekanan pada nilai tukar mata uang tertinggi dalam 12 tahun terakhir.
Sedangkan dari sektor energi, Bangladesh Power Development Board (BPDB) sedang menghadapi beban utang sebesar 45 ribu crore taka Bangladesh atau senilai USD 4 miliar.
Hal ini menjadi isu kritis bagi pemerintahan sementara yang baru dibentuk. Saat ini Bangladesh Bank telah mengeluarkan instruksi kepada sembilan bank untuk tidak melayani pencairan cek yang melebihi 200 ribu taka Bangladesh atau senilai 1.680 dolar AS.
Kesembilan bank tersebut, yaitu Islami Bank Bangladesh, First Security Islami Bank, Social Islami Bank, Union Bank, Global Islami Bank, Bangladesh Commerce Bank, National Bank, Padma Bank, dan ICB Islami Bank.
Selain itu, Bangladesh Bank menetapkan batas penarikan uang tunai sebesar 200 ribu taka Bangladesh atau senilai USD 1.680 per akun dalam satu hari. Hal ini sebagai pencegahan penggunaan uang tunai untuk tujuan ilegal.
Langkah Antisipasi
Direktorat Fasilitasi Ekspor dan Impor menuturkan, sejumlah langkah antisipatif yang dapat dilakukan para pelaku usaha Indonesia. Pertama, mendiversifikasi produk, terutama produk tahan lama, dan menggunakan mekanisme pembayaran yang aman untuk menghindari risiko gagal bayar atau penundaan pembayaran.
Kedua, menggunakan perlindungan finansial yang memadai dalam perjanjian transaksi ekspor dan impor serta penggunaan bank terpercaya dalam mekanisme transaksi atau pembayaran Letter of Credit (L/C).
Selanjutnya, apabila tetap menggunakan L/C, pelaku usaha Indonesia perlu memastikan penggunaan bank internasional terpercaya yang memiliki cabang di Bangladesh.
Kemudian untuk sektor energi, Kemendag mengimbau pelaku usaha Indonesia untuk menghentikan rencana transaksi atau kerja sama dengan BPDB yang saat ini menunggak pembayaran kepada pihak swasta. Selain itu, terdapat risiko terjadinya penundaan pembayaran kepada perusahaan Indonesia yang telah melakukan transaksi dalam mendukung kebutuhan energi di Bangladesh.
Advertisement
Bangladesh Terhimpit Krisis Politik dan Ekonomi, Industri Ini Terancam
Sebelumnya, Bangladesh, yang selama tiga dekade terakhir menjadi pusat industri mode cepat dunia, kini menghadapi tantangan besar di tengah krisis ekonomi dan gejolak politik.
Negara ini terkenal sebagai pemasok utama pakaian untuk merek-merek ritel besar seperti H&M, Gap, dan Zara. Dengan industri garmen yang bernilai USD 55 miliar per tahun atau sekitar Rp 845,02 triliun (asumsi kurs dolar Amerika Serikat terhadap rupiah di kisaran 15.364), sektor ini telah mendorong ekonomi Bangladesh dan menyumbang 80% dari total pendapatan ekspornya.
Namun, krisis politik yang menggulingkan pemerintah Sheikh Hasina pada Agustus 2023 memicu kerusuhan besar. Protes yang meluas menyebabkan ratusan orang tewas dan empat pabrik dibakar.
Pemadaman internet nasional membuat banyak pabrik kesulitan beroperasi, dan beberapa merek besar, termasuk Disney dan Walmart, memutuskan untuk mencari produsen di negara lain untuk musim berikutnya. Gangguan terus berlanjut, dengan sekitar 60 pabrik di luar Dhaka diperkirakan ditutup karena protes pekerja yang menuntut upah lebih baik.
Industri Garmen Bangladesh Alami Tekanan
Menurut Mohiuddin Rubel selaku direktur asosiasi produsen garmen, peristiwa ini akan mengurangi kepercayaan merek-merek internasional terhadap Bangladesh. Ada kekhawatiran bahwa terlalu banyak risiko jika seluruh produksi terpusat di satu negara.
Vietnam dipandang sebagai pesaing kuat dalam industri ini, dan kerusuhan politik dapat menyebabkan penurunan ekspor hingga 10-20% tahun ini, sebuah angka yang signifikan bagi ekonomi Bangladesh.
Bahkan sebelum krisis politik ini, industri garmen Bangladesh sudah mengalami tekanan besar. Skandal pekerja anak, kecelakaan pabrik yang mematikan, serta dampak pandemi COVID-19 telah melemahkan sektor ini.
Di samping itu, biaya produksi yang meningkat sementara permintaan global melambat membuat eksportir sulit menjaga keuntungan. Hal ini berakibat langsung pada menipisnya cadangan mata uang asing Bangladesh, karena ekonomi negara tersebut sangat bergantung pada ekspor.
Krisis ekonomi Bangladesh juga dipengaruhi oleh pengeluaran pemerintah yang berlebihan untuk proyek infrastruktur besar, yang menguras kas negara. Korupsi dan kronisme semakin memperburuk keadaan, dengan pengusaha yang memiliki hubungan dengan partai politik berkuasa gagal membayar pinjaman bank.
Advertisement