Jokowi Mumet Urus Izin Investasi Pembangkit Panas Bumi

Proses izin investasi bisa memakan waktu hingga 5-6 tahun sebelum proyek pembangkit listrik panas bumi bisa mulai dikerjakan.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 18 Sep 2024, 13:10 WIB
Diterbitkan 18 Sep 2024, 13:10 WIB
Presiden Joko Widodo (Jokowi) di sela acara IIGCE 2024 di JCC Senayan, Jakarta, Rabu (18/9/2024). (Maulandy/Liputan6.com)
Presiden Joko Widodo (Jokowi) di sela acara IIGCE 2024 di JCC Senayan, Jakarta, Rabu (18/9/2024). (Maulandy/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui bahwa birokrasi perizinan investasi di sektor energi hijau, khususnya dalam membangun pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) atau geothermal masih berbelit-belit.

Sehingga, proses izin investasi bisa memakan waktu hingga 5-6 tahun sebelum proyek pembangkit listrik panas bumi bisa mulai dikerjakan. 

"Ya biasa, urusan perizinan-perizinan di kita masih banyak yang mumet. Itu yang harus dibenahi, membenahi sistem, sehingga terjadi kecepatan, pemangkasan-pemangkasan," kata Jokowi di sela acara IIGCE 2024 di JCC Senayan, Jakarta, Rabu (18/9/2024).

"Contoh urusan AMDAL sampai 1-2 tahun. Belum izin-izin yang lainnya. Kalau sampai 6 tahun itu, siapa yang mau investasi kalau suruh nunggu sampai 6 tahun," dia menambahkan. 

Jokowi mengatakan, seluruh dunia mini sedang berlomba-lomba untuk masuk ke energi hijau. Menurut dia, itu jadi peluang bagi Indonesia yang punya potensi kekayaan sumber daya yang sangat besar. 

Semisal panas bumi, yang menyimpan potensi untuk sumber daya kelistrikan hingga 24.000 MW. Meskipun investasi di sektor tersebut sudah didorong sejak empat dekade silam, namun pemanfaatannya masih sangat minim.

"Contoh kek tadi, geothermal 24.000 MW, gede banget. Dia dikerjakan sejak tahun 80an sampai sekarang baru 11 persen. Berarti hanya 2.600 MW. Kecil sekali," ujar Jokowi.

"Padahal yang ngantri pingin menggunakan buanyak sekali. Ada apa, ya tadi dijawab pak Menteri ESDM, izinnya terlalu lama. Itu yang harus dibenahi," pinta dia. 

Adapun pernyataan tersebut diberikan Jokowi guna menjawab laporan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia. Yang bersangkutan sempat menceritakan pengalamannya saat masih menjadi Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Ketika izin investasi energi hijau harus melalui proses panjang lintas instansi, sebelum akhirnya pengerjaan proyek bisa dimulai. 

"Kenapa, orang melakukan investasi ini urus izin 3 tahun. RKKPL (Rencana Kerja Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan), izin AMDAL, izin lokasi bisa 2-3 tahun. Masuk di Kementerian ESDM, main lagi barang ini. Eksplorasi itu butuh waktu 2-3 tahun," bebernya pada perhelatan yang sama.

Sehingga, sambung Bahlil, proses pengerjaan suatu proyek energi hijau baru bisa dimulai di tahun keenam. Menurutnya, itu bahkan lebih lama dari satu periode masa jabatan presiden. 

"Coba bayangkan pak. Jadi akan susah kita melakukan percepatan untuk menuju 2060 net zero emission, dan kita mempunyai cadangan terbesar," imbuh Bahlil.

Menteri Investasi Roesan: Potensi Energi Terbarukan di Indonesia Sentuh 3.677 Gigawatt

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Rosan P. Roeslani  melakukan kunjungan kerja ke PT Lotte Chemical Indonesia (LCI) di Cilegon, Banten, Rabu (11/9/2024). (Tira/Liputan6.com)
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Rosan P. Roeslani  melakukan kunjungan kerja ke PT Lotte Chemical Indonesia (LCI) di Cilegon, Banten, Rabu (11/9/2024). (Tira/Liputan6.com)

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Rosan Roeslani mengungkap Indonesia memiliki potensi energi terbarukan hingga 3.677 Gigawatt. Potensi itu berasal dari tenaga surya, energi angin, hydro, biomassa, arus laut hingga panas bumi.

"Jika melihat energi yang berpotensi untuk di Indonesia baru terbarukan nilainya 3.677 gigawatt, kita bicara potensi yang di mana berasal tenaga surya, angin, hydro, arus laut, biomass, panas bumi dan lain-lainnya," ungkap Rosan dalam pidatonya di St. Regis Jakarta, Selasa (17/9/2024).

Rosan yakin potensi tersebut dapat membantu Indonesia mencapai cita-cita net zero emission pada 2060. Namun, dia juga mengakui target penurunan emisi karbon telah mengalami perlambatan.

"Saat ini, energi terbarukan yang dipakai itu 14%, padahal target kita pada tahun 2025 setahun dari sekarang itu sebetulnya adalah 23%. Jadi kita memang ketinggalan dari target-target kita," jelas dia.

Dalam kesempatan itu, ia juga mengungkapkan bahwa dibutuhkan tata kelola dan fasilitas pendukung yang baik untuk mendatangkan investor asing menanamkan modalnya pada sektor energi terbarukan di Indonesia.

"Untuk mereka (investor) ber-investasi (di Indonesia), yang berhubungan dengan tata kelola yang berkelanjutan dan berkesinambungan dari lingkungan hidup, itu menjadi salah prioritas utama,” bebernya.

"Sebagai contoh, mereka mau bikin EV (mobil listrik) di sini, harus ada manufaktur. Mereka inginnya ya tenaga energinya dari energi yang bersih," tambah Rosan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya