Dukung Aksesi OECD, Sri Mulyani Siapkan 6 Komite

Indonesia menjadi negara Asia Tenggara pertama yang berstatus sebagai negara aksesi OECD, pasca disetujuinya Peta Jalan Aksesi Indonesia yang secara resmi diserahterimakan dalam Pertemuan Tingkat Menteri (PTM) OECD pada 2-3 Mei 2024.

oleh Tira Santia diperbarui 03 Okt 2024, 16:45 WIB
Diterbitkan 03 Okt 2024, 16:45 WIB
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam peluncuran portal aksesi OECD, di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Kamis (3/10/2024). (Tira/Liputan6.com)
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam peluncuran portal aksesi OECD, di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Kamis (3/10/2024). (Tira/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) siap mendukung penerapan portal aksesi OECD dalam lingkup Kementeriannya. Hal itu diungkapkan setelah diluncurkannya portal aksesi OECD, di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Kamis (3/10/2024).

“Saya sebagai Wakil Ketua Pelaksana, Menteri Keuangan tentu akan bekerjasama dalam rangkaian untuk aksesi ini, karena tadi ada 26 komite lebih dari 200 indikator atau berbagai komitmen yang harus dipenuhi,” kata Sri Mulyani.

Dalam mendukung aksesi OECD, Kementerian Keuangan juga memiliki lebih dari 6 komite, yang terdiri dari komite untuk perpajakan, komite anggaran, komite yang berhubungan dengan sektor finansial, kemudian komite dana pensiun, komite asuransi, dan komite lingkungan hidup untuk dukungan kepada tata kelola UMKM.

“Ini semuanya masuk di dalam langsung yang berhubungan dengan Kementerian Keuangan, baik sebagai Menteri Keuangan, Pengelola Keuangan Negara maupun sebagai Ketua KSSK,” ujarnya.

Sejalan dengan itu, Kementerian Keuangan akan terus melakukan reform dalam pengelolaan APBN, fiskal, perpajakan, belanja, pembiayaan maupun reform sektor keuangan sebagai mana kebijakan yang tertuang dalam Undang Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK).

“Jadi banyak yang masuk di dalam OECD itu sebetulnya sudah masuk di dalam reform yang sudah kita kerjakan, namun sekarang untuk dilakukan benchmarking dan tentu dengan referensi best practice atau praktek terbaik dari banyak negara-negara akan membuat kita mampu untuk terus mengukur kemajuan yang kita lakukan,” ujarnya.

Sebagai informasi, Indonesia menjadi negara Asia Tenggara pertama yang berstatus sebagai negara aksesi OECD, pasca disetujuinya Peta Jalan Aksesi Indonesia yang secara resmi diserahterimakan dalam Pertemuan Tingkat Menteri (PTM) OECD pada 2-3 Mei 2024 lalu. Saat ini, terdapat 7 negara aksesi OECD yaitu Argentina, Brasil, Bulgaria, Indonesia, Kroasia, Peru, dan Rumania.

Aspek Regulasi Perpajakan RI Hampir Penuhi Syarat OECD

Melihat Layanan Ramah Disabilitas di Kantor Pajak
Berbagai sarana dan prasarana yang sudah disiapkan pihaknya untuk memfasilitasi penyandang disabilitas, mulai dari guiding block untuk memandu tuna netra, hingga ketersediaan kursi roda serta tongkat untuk membantu mereka yang kesulitan berjalan. (merdeka.com/Arie Basuki)

Sebelumnya, Indonesia tengah menjalani aksesi untuk menjadi anggota penuh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Ada beberapa syarat yang perlu dipenuhi, termasuk pada aspek perpajakan.

Analis Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Eka Hendra Permana mengatakan sedikitnya ada 23 persyaratan OECD di bidang pajak. Dia mengatakan regulasi pajak di Indonesia sudah hampir memenuhi seluruh prasyarat tadi.

"Kalau terkait pajak, standarnya OECD 23 standarnya terkait pajak, dan so far memang dari OECD sendiri kabarnya, saya sempat diskusi dengan teman-teman OECD untuk tax kabarnya sudah hampir memenuhi syarat karena memang kan kita sudah terlibat di OECD inclusive framework ya," ucap Eka, ditemui di Jakarta, Selasa (23/7/2024).Dia menjelaskan, Kementerian Keuangan tengah melakukan penelaahan lebih jauh soal aspek-aspek yang perlu dilengkapi lagi. Salah satunya melalui sinkronisasi antara aturan yang sudah berlaku dan syarat-syarat yang diminta oleh OECD.

Eka bilang, terkait aturan perpajakan ini disinyalir ada di tingkat menteri. Artinya, tak lagi memerlukan aturan lebih tinggi seperti Undang-Undang yang perlu dibahas di parlemen.

Dia menyebut, telaah yang dilakukan Kemenkeu misalnya terkait implementasi pajak minimum global.

"Initial memorandumnya kita lihat, dari 23 yang terkait tax itu ada beberapa salah satunya itu global tax yang pilar satu pilar dua, lagi kita identifikasi. Teman-teman lagi identifikasi regulasi yang ada apa standar OECD nya apa," urainya.

Dia menjelaskan, bahasan di internal Kemenkeu adalah terkait penguatan pemahaman 23 syarat terkait pajak dari OECD. Terutama penguatan di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (PKPN) BKF.

"Tapi yang saat ini adalah kami lagi bangun pemahaman DJP sama PKPN tentang standar-standarnya OECD karena 23 standarnya macam-macam kan," jelasnya.

Reformasi Struktural

Melihat Layanan Ramah Disabilitas di Kantor Pajak
Kepala Kawil DJP Jaksel II, Neilmaldrin Noor menyebut layanan ramah disabilitas ini bermula dari program Duta Transformasi yang diselenggarakan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu). (merdeka.com/Arie Basuki)

Diberitakan sebelumnya, Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (The Organization for Economic Co-operation and Development/OECD) meluncurkan survei Product Market Regulation (PMR) terbaru pada acara “Launch of OECD Product Market Regulation Indicators 2023-2024” pada Rabu 10 Juli 2024 di Paris, Prancis.

Survei ini merupakan inisiatif untuk mengidentifikasi bagaimana suatu negara menciptakan lingkungan bisnis kondusif, meningkatkan transparansi dalam dunia bisnis, serta mendukung penciptaan lapangan kerja berkualitas. Survei PMR ini dilakukan pada 38 negara anggota OECD dan beberapa negara mitra, termasuk Indonesia.

Sebagai apresiasi atas keberhasilan dalam melakukan reformasi kebijakan, Indonesia diundang oleh OECD untuk menjadi pembicara dalam rilis PMR tersebut. Indonesia diundang bersama Yunani dan Peru yang juga berhasil melakukan reformasi kebijakan.

Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Ferry Irawan, yang hadir mewakili Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, menyampaikan komitmen dan keberhasilan Indonesia dalam implementasi reformasi struktural.

"Implementasi Undang-Undang Cipta Kerja (UU CK) telah terbukti efektif, sebagaimana dibuktikan dengan peningkatan indikator PMR Indonesia,” ujar Deputi Ferry seperti dikutip dari keterangan resmi, Selasa (16/7/2024).

Sejak 1998, Indonesia telah melaksanakan serangkaian reformasi struktural untuk memperkuat tata kelola, desentralisasi manajemen fiskal, memerangi korupsi, meningkatkan layanan keuangan, dan memastikan ketahanan ekonomi melalui berbagai langkah legislatif dan regulatif.

Pada 2021, melalui pendekatan omnibus law, Indonesia merevisi 79 UU melalui UU CK, yang terdiri dari 186 pasal dan 15 bab yang terbagi dalam 11 klaster.

Langkah Strategis

Klaster tersebut termasuk perbaikan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha, perizinan usaha, ketenagakerjaan, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, serta kemudahan berusaha.

"Keberhasilan dalam meningkatkan indikator PMR adalah langkah strategis yang sejalan dengan aspirasi Indonesia untuk menjadi anggota penuh OECD, yang akan semakin memperkuat kerja sama internasional dan daya saing ekonomi nasional. Keberhasilan ini juga tak hanya akan mengukuhkan posisi Indonesia di tingkat global, namun juga memperkuat upaya aksesi keanggotaan OECD yang sedang berlangsung,” ujar Deputi Ferry.

Indonesia akan terus melanjutkan reformasi ini dengan menggunakan aksesi OECD sebagai benchmark untuk perbaikan lebih lanjut. Acara ini juga menegaskan komitmen Indonesia dalam melanjutkan reformasi struktural guna mendukung persaingan usaha yang sehat dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya