Liputan6.com, Jakarta - Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menegaskan bahwa kewajiban sertifikasi halal bagi pelaku usaha mulai berlaku resmi pada 18 Oktober 2024. BPJPH menerjunkan ribuan petugas untuk melakukan pengawasan usaha yang belum memiliki sertifikat halal.
Kepala BPJPH Haikal Hasan menjelaskan, langkah wajib sertifikasi halal ini dilakukan untuk menjalankan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Baca Juga
"Mulai 18 Oktober 2024, kami akan melakukan pengawasan secara serentak untuk memastikan pelaku usaha mematuhi kewajiban sertifikasi halal," jelas Haikal dikutip dari Antara, Kamis (24/10/2024).
Advertisement
Untuk mendukung pengawasan ini, BPJPH telah menyiapkan 1.032 personel pengawas yang sudah memenuhi syarat dan telah menjalani pelatihan khusus. Haikal menegaskan bahwa sesuai dengan aturan, pengawasan ini merupakan tanggung jawab BPJPH.
Selain BPJPH, kementerian, lembaga terkait, dan pemerintah daerah juga bisa terlibat dalam pengawasan ini setelah berkoordinasi dan bekerja sama dengan BPJPH. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2024 yang menggantikan PP Nomor 39 Tahun 2021.
Pada tanggal 18 Oktober 2024, pengawas JPH akan mulai mendata pelaku usaha yang belum melaksanakan kewajiban sertifikasi halal. Mereka juga akan mengimbau pelaku usaha agar segera mendaftarkan produk mereka untuk mendapatkan sertifikasi halal.
Berdasarkan hasil pendataan, BPJPH akan melakukan kajian dan pemeriksaan terkait pelanggaran. Jika ada pelaku usaha yang melanggar, mereka bisa dikenai sanksi administratif. Haikal menegaskan bahwa sanksi ini bisa berupa peringatan tertulis atau penarikan produk dari peredaran.
Bahkan, untuk usaha menengah dan besar seperti restoran, hotel, dan kafe, bisa berujung pada penutupan usaha jika produk yang disajikan tidak halal.
Wajib Halal Resmi Berlaku 17 Oktober 2024
Sesuai amanat PP 39 Tahun 2021, kewajiban sertifikasi halal bagi produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia akan diterapkan mulai 17 Oktober 2024 bagi produk makanan, minuman, hasil sembelihan dan jasa penyembelihan, bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong untuk produk makanan dan minuman.
Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Muhammad Aqil Irham menyatakan berdasarkan data SIHALAL, hingga 15 Oktober 2024, jumlah produk bersertifikat halal mencapai 5,38 juta lebih. Sementara, jumlah LPH terakreditasi sebanyak 79 LPH, dan jumlah LP3H teregister sebanyak 269 LP3H yang didukung sebanyak 108 ribu lebih Pendamping Proses Produk Halal.
"Kehadiran UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, yang kemudian diperkuat dengan hadirnya UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja, serta Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal, telah menetapkan kerangka hukum baru yang membawa perubahan mendasar terkait kebijakan dan implementasi Sertifikasi Halal," kata Aqil dalam sambutannya di acara TOP Halal Award 2024 di Jakarta, Rabu, 16 Oktober 2024.
Seiring perubahan aturan dari yang sifatnya sukarela menjadi wajib, ada konsekuensi bagi pengusaha, khususnya makanan dan minuman di Indonesia, yang mengabaikan aturan main tersebut. Direktur IHATEC Marketing Research Evrin Lutfika menyampaikan sanksi yang dikenakan beragam, tergantung pada tingkat kesalahannya.
Sanksi pertama berupa peringatan tertulis kepada pelaku usaha. Pada tahap ini, pelaku usaha diberi tenggat waktu tertentu untuk segera memenuhi persyaratan halal. Jika terus mengabaikan, pelaku usaha akan dikenai denda administratif. Sanksi terberat adalah penarikan barang atau produk mereka dari pasar.
Advertisement
Ada Pengecualian
Meski begitu, pemerintah mengecualikan kewajiban halal dan konsekuensinya bagi pengusaha skala mikro dan kecil. Mereka diberikan perpanjangan waktu hingga 2026.
Sejalan dengan itu, BPJPH melaksanakan program percepatan Sertifikasi Halal dengan terus menggulirkan program sertifikasi halal gratis (SEHATI) melalui skema sertifikasi halal dengan pernyataan pelaku usaha atau self declare. Aturan itu mulai dieksekusi pada akhir 2021 untuk pertama kalinya bagi pelaku usaha mikro dan kecil melalui fasilitas anggaran pemerintah.
"Pada tahun 2024, BPJPH menargetkan kuota satu juta sertifikat halal gratis bagi pelaku usaha mikro dan kecil (UMK) di seluruh Indonesia melalui Program SEHATI yang Insya Allah akan terus kita lanjutkan pada 2025," ujar Aqil.
"Dengan sistem ini (self declare), proses sertifikasi diharapkan lebih mudah diakses oleh semua pelaku usaha, sehingga tidak ada alasan untuk mengabaikan kewajiban tersebut," imbuh Evrien.
Meski begitu, ada celah yang perlu diperbaiki pemerintah terkait mekanisme self declare tersebut. Kasus terakhir, yakni lolosnya produk dengan nama-nama yang bertentangan dengan syarat produk mendapatkan sertifikat halal, menunjukkan rentannya self declare.
Sekretaris Komisi Fatwa MUI Miftahul Huda mengkhawatirkan kemudahan itu dimanfaatkan para pengusaha nakal karena hanya seorang yang memverifikasi dan memvalidasi klaim pengusaha. Belum lagi, kualifikasi pendamping proses tidak setinggi kualifikasi auditor halal.
"Di dalam prakteknya di lapangan itu ya susah untuk dibatasi karena kadang orang menyatakan bahwa produk saya ini sederhana, tapi dalam prakteknya di lapangan, mekanisme penetapannya hanya melalui verifikasi dan validasi satu orang," kata Miftah.
Pentingnya Sertifikasi Halal untuk Branding Perusahaan
Lebih jauh, Aqil mengingatkan bahwa produk halal bukan hanya penting dalam konteks agama, tapi juga dalam hal branding suatu produk dan nama perusahaan. Dalam dunia bisnis, brand atau merek yang baik dan dikenal luas adalah aset yang sangat berharga. Salah satu faktor yang mempengaruhi brand sebuah produk adalah citra atau image yang dimilikinya, termasuk dalam hal kehalalan produk.
Seiring meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya produk halal, semakin banyak konsumen yang mencari dan memilih produk halal. Bagi produsen atau pelaku usaha, memperoleh sertifikat halal menjadi suatu keharusan untuk menjamin kehalalan produk yang dihasilkan dan memenuhi kebutuhan konsumen yang semakin sadar akan halal.
"Bapak Presiden Joko Widodo dan Bapak Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin telah menetapkan kebijakan untuk menjadikan Indonesia sebagai Produsen Produk Halal Terbesar Dunia pada tahun 2024. Kebijakan tersebut telah diproyeksikan sebagai salah satu penggerak utama dalam pertumbuhan ekonomi untuk mewujudkan visi Indonesia Maju," sahutnya.
Hal itu juga diamini oleh Evrin. Ia menyebut bahwa sertifikasi halal sebenarnya sudah menjadi kebutuhan pasar, bahkan sebelum diwajibkan. "Pengusaha besar yang ingin melakukan ekspor atau bekerja sama dengan perusahaan halal pasti membutuhkan sertifikasi ini," sambung Evrin.
Advertisement