Liputan6.com, Jakarta - Rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) jadi 12 persen mulai Januari 2025 menuai berbagai kekhawatiran. Masyarakat, pelaku usaha, hingga pertumbuhan ekonomi dinilai bisa terdampak atas rencana tersebut.
Sebagian masyarakat kelas menengah mulai merencanakan untuk menjalankan gaya hidup berhemat atau frugal living. Khawatirnya, daya beli kemudian akan ikut turun. Alhasil, pertumbuhan ekonomi nasional yang menjadi taruhannya.
Baca Juga
Ekonom Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P Sasmita melihat dampak luas dari kenaikan PPN tadi. Beberapa jenis barang dan jasa bisa ikut terkena pengaruh.
Advertisement
Produk makanan, minuman, restoran, hotel, hingga jasa transportasi akan terdampak. Misalnya, ketika harga barang naik, maka konsumsi masyarakat turut tertahan.
"Baik dari sisi permintaannya mungkin akan berkurang, ini akan efeknya kepada pengusaha, penghasil barang dan jasa itu. Karena harganya harus dia naikkan, lalu permintaannya otomatis berkurang," kata Ronny kepada Liputan6.com, Rabu (27/11/2024).
Penurunan daya beli dari kenaikan PPN itu sebetulnya bisa diperkecil. Caranya, dengan meningkatkan pendapatan dari masyarakat. Hal ini diamini salah satu pegawai swasta di Ibu Kota, Krisna.
"Kenaikan PPN jadi 12 persen harusnya juga paralel dengan menaikkan UMR ataupun UMP. Saya pribadi tidak keberatan soal PPN 12 persen itu asalkan yaa gaji juga naik. Jadi, daya beli saya juga bisa terjaga karena pasti dengan naiknya PPN itu, harga-harga barang juga pasti naik," kata dia saat berbincang dengan Liputan6.com.
Jika upah atau pendapatan tidak naik setara, daya beli tetap akan tertahan. Sama halnya dengan Ambar, seorang ibu rumah tangga yang mulai mengurangi konsumsinya bahkan sebelum resminya PPN naik jadi 12 persen. Konsep frugal living nampaknya masuk dalam rencananya kedepan.
"Dengan kenaikan beberapa harga barang pokok saja sudah cukup mengejutkan, hal ini mempengaruhi saya saat ingin check out barang belanjaan sekunder atau tersier dari ecommerce. Kini saya belanja berdasarkan prioritas, dan barang yang tidak penting-penting amat saya singkirkan dari keranjang atau wishlist ecommerce," jelasnya.
Ekonomi Tersendat
Dampak kenaikan PPN jadi 12 persen ditambah penurunan daya beli masyarakat nampaknya membuat pelaku usaha khawatir. Bahkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mayoritas ditopang konsumsi bisa ikut merasakan dampaknya.
Salah satunya diungkap oleh Ketua Umum Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (Gapmmi), Adhi S Lukman. Menurutnya, kenaikan PPN bisa meningkatkan biaya produksi hingga harga jual produk.
"Terlebih pada produk pangan yang sangat sensitif terhadap harga, masyarakat akan mengerem konsumsinya. Hal ini akan memperlambat laju konsumsi rumah tangga," ujar Adhi.
Data menyebutkan, konsumsi rumah tangga yang menjadi penopang pertumbuhan ekonomi berkontribusi sebesar 53,08 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional, menunjukkan tren pelemahan. Pada kuartal III 2024, konsumsi hanya mampu tumbuh 4,91 persen, lebih rendah dibandingkan kuartal II 2024 sebesar 4,93 persen.
"Kenaikan PPN akan berpotensi menekan pertumbuhan industri makanan minuman, sehingga dapat memperlambat pemulihan ekonomi nasional. Apalagi pemerintah mencanangkan pertumbuhan ekonomi untuk menuju 8 persen, perlu didukung semua sektor," ungkap Adhi.
Advertisement
Pertumbuhan Ekonomi Turun 0,02 Persen
Tertahannya pertumbuhan ekonomi juga diamini oleh Direktur Eksekutif Institute for Developmet of Economic and Finance (Indef), Esther Sri Astuti. Dia memperkirakan, kenaikan 1 persen dari 11 persen menjadi PPN 12 persen berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi 0,02 persen.
Pasalnya, kenaikan PPN akan meningkatkan biaya produksi dan konsumsi. Sehingga akan memperlemah daya beli, sehingga utilisasi dan penjualan ikut melemah.
"Akibatnya penyerapan tenaga kerja menurun dan pendapatan pun akan menurun. Yang berakibat menurunkan konsumsi dan menghambat pemulihan ekonomi, serta pada akhirnya pendapatan negara akan menurun," ungkap Esther.
Secara umum, Esther menyimpulkan kenaikan PPN (single tarif) akan menyebabkan semakin menurunnya daya saing industri, karena biaya produksi meningkat.
"Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan skema multi tarif," imbuhnya.