Liputan6.com, Jakarta - Ketua Bidang Kelembagaan dan Kemitraan Asosiasi Pengusaha Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Rizal Mulyana mengungkapkan, keprihatinannya terhadap dampak kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen bagi sektor ritel.
Menurut dia, kenaikan PPN ini akan semakin memberatkan pelaku usaha di sektor ritel, yang sudah merasakan dampak dari penurunan daya beli masyarakat yang semakin menurun. Ditambah lagi, adanya inflasi yang terus terjadi setiap tahun, menciptakan kondisi ekonomi yang makin sulit.
Advertisement
Baca Juga
"Sudah pasti angka PPN 12 persen ini sangat memberatkan untuk para peritel yang saat ini pun daya beli sudah sangat menurun dan setiap tahun tetap ada yg namanya inflasi. Jadi, sudah sulit dengan adanya inflasi ditambah lagi dengan PPN naik 12 persen," kata Rizal kepada Liputan6.com, Selasa (17/12/2024).
Advertisement
Namun, Rizal juga menawarkan solusi konkret untuk mengatasi masalah ini, yaitu dengan memberikan perhatian khusus kepada UMKM. Menurut dia, pemerintah harus memberikan subsidi berupa pengurangan tarif PPN menjadi 6 persen bagi UMKM mikro yang memiliki omzet di bawah Rp 500 juta, terutama untuk sewa lahan atau toko.
"Kami usulkan justru untuk bantu UMKM yang semakin terjepit dengan produk import agar bisa diberikan subsidi pemerintah dengan memberikan 6 persen PPN bagi UMKM mikro yang omzet di bawah Rp 500 juta untuk sewa lahan/toko untuk berjualan," ujar Rizal.
Hal ini dianggap penting agar UMKM bisa bertahan dan berkembang di tengah persaingan yang semakin ketat, terutama dengan produk impor yang semakin banyak masuk ke pasar Indonesia.
Selain itu, Rizal juga mengusulkan agar pemerintah mendorong sektor industri kreatif, khususnya produk-produk warisan budaya Indonesia, seperti tenun. Ia menyarankan untuk mengadakan Hari Tenun Nasional, yang bisa ditetapkan dengan Keputusan Presiden (Keppres) dan didukung oleh kementerian terkait.
Produk Indonesia
Diharapkan, dengan adanya dorongan ini, masyarakat, termasuk para Pegawai Negeri Sipil (PNS), akan lebih mencintai produk-produk asli Indonesia, serta mendukung perajin lokal.
"Juga dorong produk baru dengan adakan hari tenun nasional dengan Keppres dan didukung dengan himbauan dari Mendagri agar dimulai dari PNS mencintai produk warisan budaya indonesia ini. Jadi, ini ada hari batik dan hari tenun nasional," ujar dia.
Rizal menilai tenun, yang dikenal sebagai produk warisan budaya Indonesia, memiliki potensi besar untuk dipromosikan, terutama di pasar domestik. Harga jual produk tenun yang cukup terjangkau, seperti yang dapat ditemukan di Thamrin City dengan harga mulai Rp 150 ribu hingga Rp 300 ribu, menunjukkan produk ini bisa dinikmati oleh berbagai lapisan masyarakat.
Di sisi lain, ia menyoroti pembuat tenun sebagian besar berasal dari masyarakat kurang mampu yang tersebar di pelosok-pelosok Indonesia, terutama di 35 provinsi. Melalui dukungan pemerintah terhadap produk tenun, Rizal berharap dapat mendorong ekonomi kreatif Indonesia, meningkatkan kesejahteraan pengrajin lokal, dan memperkenalkan warisan budaya Indonesia lebih luas ke masyarakat.
"Pemerintah sudah berhasil dengan mendukung UMKM batik. Sudah saatnya tenun didukung. Cukup murah bajunya dijual di beberapa toko di Thamrin City di angka Rp 150 ribu - Rp 300 ribu. Sudah jelas pembuat tenun ini adalah kalangan masyarakat kurang mampu di pelosok-pelosok di 35 provinsi indonesia," pungkasnya.
Advertisement
Alasan Sri Mulyani Tetap Naikkan PPN 12 Persen per 1 Januari 2025
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjelaskan keputusan untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada awal tahun 2025 telah dipertimbangkan secara bertahap dan matang. Kebijakan PPN 12 persen sesuai amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) Nomor 7 Tahun 2021.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa Undang-Undang HPP, yang disahkan pada 29 September 2021, tidak hanya mengatur peraturan perpajakan, tetapi juga mencakup kebijakan yang berpihak pada masyarakat. Salah satunya adalah melalui penyesuaian tarif PPN secara bertahap.
Kenaikan tarif PPN sebelumnya, dari 10 persen menjadi 11 persen pada 1 April 2022, dirancang untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional pasca-pandemi. Begitu pula dengan kenaikan berikutnya dari 11 persen menjadi 12 persen yang akan diberlakukan mulai 1 Januari 2025.
“Waktu itu, bahkan setelah pandemi, kita menaikkan tarif dari 10 persen ke 11 persen pada 1 April 2022. Kemudian DPR memutuskan penundaan kenaikan berikutnya hingga 1 Januari 2025. Hal ini memberi masyarakat waktu untuk pulih dengan memadai,” jelas Sri Mulyani dalam konferensi pers Paket Kebijakan Ekonomi di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (16/12/2024).
Sesuai UU
Kebijakan Pro Rakyat dalam Undang-Undang HPP
Menkeu menegaskan bahwa dalam pembahasan Undang-Undang HPP, pemerintah tetap memperhatikan kebutuhan masyarakat, khususnya kelompok ekonomi menengah ke bawah.
Melalui undang-undang ini, pemerintah memberikan fasilitas berupa pembebasan atau pengurangan PPN untuk barang-barang kebutuhan pokok yang banyak dikonsumsi masyarakat. Hal ini meliputi sektor pangan, pendidikan, kesehatan, transportasi, dan jasa sosial lainnya. Tujuannya adalah untuk meringankan beban masyarakat dan memastikan akses yang lebih adil terhadap barang dan jasa esensial.
“Hampir seluruh fraksi setuju bahwa negara harus menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. Keberpihakan ini diwujudkan melalui fasilitas PPN untuk barang kebutuhan pokok, baik berupa barang maupun jasa yang dikonsumsi masyarakat luas,” kata Sri Mulyani.
Detail dan Pertimbangan Matang
Sri Mulyani menambahkan bahwa selama proses pembahasan Undang-Undang HPP, semua kebutuhan masyarakat telah dipertimbangkan secara rinci dan mendalam.
“Jadi, saat membahas Undang-Undang HPP, kami benar-benar memikirkan secara detail kebutuhan masyarakat dan situasi yang ada,” tutupnya.
Advertisement