Soal PPN 12%, Buruh Minta Kejelasan Definisi Barang Mewah

Buruh masih menunggu petunjuk pelaksanaan soal kategori barang mewah yang kena PPN 12 persen. Jika didapati ada barang kebutuhan buruh, maka pihaknya akan menolak.

oleh Arief Rahman H diperbarui 17 Des 2024, 19:30 WIB
Diterbitkan 17 Des 2024, 19:30 WIB
Warung kelontong
Bisnis warung sembako dan produk Fast Moving Consumer Goods (FMCG) masih merupakan salah satu bisnis yang menjanjikan. Jenis produk yang merupakan kebutuhan harian masyarakat dan perputaran barang yang cepat, menjadikan bisnis toko sembako dan produk FMCG memberikan peluang besar untuk meraih kesuksesan dan omzet yang tinggi. (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban khawatir kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) jadi 12 persen ikut berdampak ke kebutuhan masyarakat. Meski, pemerintah menetapkan kenaikan hanya berlaku bagi barang kategori mewah.

Elly mengatakan, belum ada kejelasan soal barang mewah dan tidak mewah. Hal ini yang akan membuat masyarakat kebingungan.

"Kemungkinan besar seperti itu (berdampak ke kebutuhan pokok). Jadi agak aneh kalau ada 2 kebijakan tentang pajak. Kategori barang mewah itu apa, kategori barang yang tidak mewah itu apa, nanti kan itu juga membuat masyarakat menjadi kebingungan," kata Elly kepada Liputan6.com, Selasa (17/12/2024).

Dia memprediksi, PPN 12 persen bagi barang mewah akan berdampak ke barang-barang lainnya. Dampak itu bisa dirasakan ketika kebijakan tersebut benar-benar diterapkan mulai Januari 2025.

"Kalau dinaikkan pajak untuk yang barang mewah secara otomatis nantikan akan terpengaruh dengan barang-barang lainnya. Kita lihat saja nanti pasti akan ada kenaikan barang-barang lain kan terutama bahan-bahan pokok karena kita belum tahu apa alasan pemerintah ini membuat ada dua kebijakan yang berbeda dalam satu negara terutama mengenai pajak," tutur dia.

Elly mengaku masih menunggu petunjuk pelaksanaan soal kategori barang mewah yang kena PPN 12 persen. Jika didapati ada barang kebutuhan buruh, maka pihaknya akan menolak.

"Kalau nanti dalam juklak terdapat barang kebutuhan sehari-hari pekerja/buruh atau yang terdampak ke kebutuhan sehari-hari pekerja/buruh, KSBSI tetap akan menolak," ujarnya.

"Karena percuma upah naik 6,5 persen kalau PPN 12 persen itu ada yang terdampak untuk kebutuhan pekerja/buruh," imbuh Elly Silaban.

Menko Airlangga: Hanya Barang Mewah yang Kena PPN 12%

Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. (Foto: Liputan6.com/Tira Santia)
Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. (Foto: Liputan6.com/Tira Santia)

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menggelar Konferensi Pers terkait kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% mulai 1 Januari 2025. Pengenaan pajak ini merupakan amanah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Menko Airlangga menjelaskan, sejalan dengan azas keadilan dan gotong royong, atas Barang dan Jasa Mewah yang dikonsumsi masyarakat mampu yang sebelumnya tidak dikenakan PPN kini dikenakan PPN 12%.

Bahan makanan premium antara lain beras, buah-buahan, ikan dan daging premium, pelayanan kesehatan medis premium, jasa pendidikan premium, dan listrik pelanggan rumah tangga sebesar 3500 VA-6600 VA, akan dikenakan PPN 12%," jelas dia.

Airlangga melanjutkan, kesejahteraan masyarakat menjadi salah satu aspek esensial yang terus ditingkatkan Pemerintah melalui penerapan berbagai skema kebijakan dan program strategis.

Bauran kebijakan tersebut dirancang dan diimplementasikan Pemerintah dengan turut mempertimbangkan prinsip keadilan dan gotong royong, serta diiringi dengan langkah-langkah mitigasi yang diantaranya dalam bentuk pemberian insentif di bidang ekonomi.

“Untuk itu, agar kesejahteraan masyarakat tetap terjaga, Pemerintah telah menyiapkan insentif berupa Paket Stimulus Ekonomi yang akan diberikan kepada berbagai kelas masyarakat,” ungkap Airlangga.

Dengan proyeksi insentif PPN dibebaskan yang diberikan pada 2025 sebesar Rp 265,6 triliun, Pemerintah tetap memberikan fasilitas bebas PPN atau PPN tarif 0% berkenaan dengan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat umum dan mempengaruhi hajat hidup orang banyak.

Barang dan jasa tersebut termasuk bahan kebutuhan pokok seperti beras, daging, ikan, telur, sayur, susu segar, gula konsumsi, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa angkutan umum, jasa tenaga kerja, jasa keuangan, jasa asuransi, buku, vaksin polio, rumah sederhana dan sangat sederhana, rusunami, serta pemakaian listrik dan air minum.

Insentif Bagi Rumah Tangga

Konferensi pers Paket Kebijakan Ekonomi, Senin, 16 Desember 2024. (Foto: Liputan6.com/Tira Santia)
Konferensi pers Paket Kebijakan Ekonomi, Senin, 16 Desember 2024. (Foto: Liputan6.com/Tira Santia)

Bagi kelompok rumah tangga berpendapatan rendah, stimulus yang diberikan berupa PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar 1% dari kebijakan PPN 12% untuk Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting (Bapokting) yakni minyak Kita, tepung terigu, dan gula industri, sehingga PPN yang dikenakan tetap sebesar 11%.

Stimulus Bapokting tersebut cukup krusial untuk menjaga daya beli masyarakat terutama dalam pemenuhan kebutuhan pokok.

Secara khusus, stimulus untuk gula industri diharapkan dapat menopang industri pengolahan makanan-minuman yang memiliki kontribusi sebesar 36,3% terhadap total industri pengolahan.

Selain itu, Pemerintah juga merancang kebijakan Bantuan Pangan/Beras sebanyak 10 kg per bulan yang akan diberikan bagi masyarakat di desil 1 dan 2 sebanyak 16 juta Penerima Bantuan Pangan (PBP) selama 2 (dua) bulan (Januari-Februari 2025), dan pemberian diskon biaya listrik sebesar 50% selama 2 (dua) bulan (Januari-Februari 2025) bagi pelanggan listrik dengan daya listrik terpasang hingga 2200 VA untuk mengurangi beban pengeluaran rumah tangga.

Insentif Bagi Kelas Menengah

Konferensi pers Paket Kebijakan Ekonomi, Senin, 16 Desember 2024. (Foto: Liputan6.com/Tira Santia)
Konferensi pers Paket Kebijakan Ekonomi, Senin, 16 Desember 2024. (Foto: Liputan6.com/Tira Santia)

Bagi masyarakat kelas menengah, berbagai stimulus kebijakan juga telah disiapkan Pemerintah untuk menjaga daya beli, dengan melanjutkan pemberian sejumlah insentif yang telah berlaku sebelumnya seperti PPN DTP Properti bagi pembelian rumah dengan harga jual sampai dengan Rp 5 miliar dengan dasar pengenaan pajak sampai dengan Rp 2 miliar.

Selain itu PPN DTP KBLBB atau Electric Vehicle (EV) atas penyerahan EV roda empat tertentu dan bus tertentu, PPnBM DTP KBLBB/EV atas impor EV roda empat tertentu secara utuh (Completely Built Up/CBU) dan penyerahan EV roda empat tertentu yang berasal dari produksi dalam negeri (Completely Knock Down/CKD), serta Pembebasan Bea Masuk EV CBU.

Di samping itu, terdapat juga kebijakan baru yang akan diterapkan oleh Pemerintah untuk masyarakat kelas menengah, mulai dari pemberian PPnBM DTP Kendaraan Bermotor Hybrid, pemberian insentif PPh Pasal 21 DTP untuk Pekerja di Sektor Padat Karya dengan gaji sampai dengan Rp10 juta/bulan, optimalisasi Jaminan Kehilangan Pekerjaan dari BPJS Ketenagakerjaan sebagai buffer bagi para pekerja yang mengalami PHK dengan tidak hanya manfaat tunai, tapi juga manfaat pelatihan dan akses informasi pekerjaan, serta Relaksasi/Diskon sebesar 50% atas pembayaran iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) kepada sektor industri padat karya.

Insentif Bagi Dunia Usaha

Konferensi Pers Paket Kebijakan Ekonomi untuk Kesejahteraan di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Senin (16/12/2024).
Konferensi Pers Paket Kebijakan Ekonomi untuk Kesejahteraan di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Senin (16/12/2024).

Beragam insentif yang dirancang Pemerintah tidak hanya ditujukan untuk menyasar masyarakat umum, melainkan juga telah disiapkan stimulus bagi dunia usaha, terutama untuk perlindungan kepada UMKM dan Industri Padat Karya yang merupakan backbone perekonomian nasional.

Insentif tersebut berupa Perpanjangan masa berlaku PPh Final 0,5% sampai dengan tahun 2025 bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) UMKM yang telah memanfaatkan selama 7 tahun dan berakhir di tahun 2024.

Untuk UMKM dengan omset dibawah Rp 500 juta/tahun sepenuhnya dibebaskan dari pengenaan PPh tersebut. Pemerintah juga menyiapkan Pembiayaan Industri Padat Karya untuk revitalisasi mesin guna meningkatkan produktivitas dengan skema subsidi bunga sebesar 5%.

“Sekali lagi kami sampaikan bahwa Paket Kebijakan Ekonomi ini dirancang untuk melindungi masyarakat, mendukung pelaku usaha terutama UMKM dan industri padat karya, dan menjaga stabilitas harga serta pasokan bahan pokok, serta sekaligus dalam rangka mengakselerasi pertumbuhan ekonomi nasional,” pungkas Menko Airlangga.

  

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya