Kenaikan PPN 12% Dikhawatirkan Menurunkan Daya Beli Masyarakat, Begini Fakta dan Pandangan Ahli

Perlu diingat, bahwa kenaikan PPN adalah 1% dan bukan 12%. Dikutip dari rilis resmi Dirjen Pajak tanggal 21 Desember 2024, disebutkan bahwa barang dan jasa yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat tetap diberikan fasilitas pembebasan PPN atau PPN dengan tarif 0%.

oleh Wuri Anggarini pada 23 Des 2024, 18:49 WIB
Diperbarui 23 Des 2024, 18:51 WIB
Kenaikan PPN 12% Dikhawatirkan Menurunkan Daya Beli Masyarakat, Begini Fakta dan Pandangan Ahli
Ilustrasi daya beli masyarakat. (c) vasilevkirill/Depositphotos.com

Liputan6.com, Jakarta Belakangan ini, isu kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% sedang ramai di kalangan masyarakat. Pro dan kontra pun bermunculan, termasuk ‘teori’ dan ‘prediksi’ soal dampak kenaikan ini yang dianggap merugikan masyarakat. Salah satunya adalah soal kenaikan PPN yang dapat menurunkan daya beli masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah. 

Hal ini jelas menimbulkan gelombang kepanikan yang dialami oleh masyarakat. Pemerintah sendiri sudah mulai memberikan klarifikasi dan penjelasan tentang apa saja obyek pajak yang akan mengalami dampak dari kenaikan tersebut. 

Perlu diingat, bahwa kenaikan PPN adalah 1% dan bukan 12%. Dikutip dari rilis resmi Dirjen Pajak tanggal 21 Desember 2024, disebutkan bahwa barang dan jasa yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat tetap diberikan fasilitas pembebasan PPN atau PPN dengan tarif 0%. 

Barang dan jasa tersebut seperti, kebutuhan pokok meliputi beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran. Kemudian jasa pelayanan medis, pelayanan sosial, jasa keuangan, asuransi, pendidikan, jasa angkutan umum di darat dan air, jasa tenaga kerja serta persewaan rumah susun dan rumah umum juga lepas dari kenaikan PPN 12%. Kategori lainnya adalah buku, kitab suci, vaksin polio, rumah sederhana, rusunami, listrik dan air minum serta berbagai insentif PPN lainnya yang secara keseluruhan diperkirakan sebesar Rp265,6 triliun untuk tahun 2025.

Fakta Kenaikan PPN terhadap Daya Beli Masyarakat

Dijelaskan oleh Yustinus Prastowo, pengamat perpajakan sekaligus mantan staf khusus Menteri Keuangan bahwa kenaikan PPN menjadi 12% memang bisa memberikan dampak untuk rumah tangga. Namun, hal yang paling penting adalah bagaimana mitigasi pemerintah menghadapi risiko tersebut. 

“Secara faktual memang pasti mempengaruhi pendapatan rumah tangga, namun bagaimana respons pemerintah adalah hal yang penting. Pemerintah memberikan kebijakan berupa stimulus supaya rumah tangga yang terdampak bisa mendapatkan dukungan yang lebih besar. Karena PPN dan semua jenis pajak itu tujuannya menyasar semua wajib pajak, maka pemberlakuannya harus mempertimbangkan daya beli,” ungkapnya dalam wawancara bersama tim Liputan6.com. 

Ia pun menyebutkan sekarang pemerintah sudah mempersiapkan berbagai stimulus seperti seperti PPH 21 ditanggung pemerintah untuk gajinya sampai dengan Rp10 juta, bantuan pangan 10 kg beras untuk 16 juta rumah tangga, bantuan listrik, jaminan kehilangan pekerjaan dan sebagainya sebagai upaya pemerintah memberikan kompensasi. 

Selain itu, sosok yang akrab disapa Prastowo ini juga mengajak masyarakat untuk melihat lebih besar hasil dari kenaikan tersebut. “Pajak tadi kan tujuannya akan dibelanjakan kembali dalam bentuk APBN. Belanjanya ada berbagai macam, seperti Makan Bergizi Gratis, program pembangunan 3 juta perumahan, dan lain-lain. Ini juga akan menggeliatkan ekonomi sekaligus membuka lapangan pekerjaan baru. Kalau uang pajak yang dibayarkan tadi dipakai untuk belanja publik, otomatis ini kan akan menambah pendapatan rumah tangga karena rumah tangga akan mendapatkan tambahan pekerjaan,” lanjutnya. 

Perhitungan Dampak Kenaikan PPN terhadap Inflasi

Dikutip dari pernyataan Kepala Kebijakan Fiskal Febrio Kacaribu, tingkat inflasi Indonesia saat ini cenderung rendah di 1,6%. Sementara itu, dampak kenaikan PPN ke 12% adalah 0,2%. Inflasi akan tetap dijaga rendah sesuai target APBN 2025 di 1,5%-3,5%. 

Lalu bagaimana dengan dampak kenaikan PPN menjadi 12% terhadap tingkat inflasi? Mantan staf khusus Menteri Keuangan ini menyebutkan bahwa dampaknya akan tetap ada, namun bersifat temporer. 

"Kalau kita berkaca pada pengalaman sebelumnya terkait kenaikan harga BBM maupun kenaikan PPN 11%, dampak inflasi ada tapi temporer. Artinya 3 bulan pertama ada tapi masih bisa diatasi, artinya ekonomi kita bergerak, tidak statis. Jadi, harapannya nanti juga temporer seperti itu, bisa dikendalikan dampaknya termasuk pemerintah kan diharapkan mengendalikan harga-harga yang variabelnya banyak ya," ungkap Prastowo. 

Ia pun menekankan bahwa dari skema tersebut, hal yang perlu dipastikan adalah pemerintah fokus mengukur dampak di lapangan dalam beberapa bulan setelah penerapan. Hal ini bertujuan untuk melihat sektor mana yang kemungkinan terdampak, tapi belum tercakup skema stimulus. 

Upaya Aktif Pemerintah Menjaga Daya Beli Masyarakat

Lebih lanjut, pemerintah akan terus menjaga daya beli masyarakat di tengah proses kenaikan PPN menjadi 12%. Prastowo juga menyebutkan ada beberapa strategi yang bisa dilakukan pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat tetap sehat. 

"Tentu pengendalian inflasi secara umum ya, karena faktornya mulai dari musim panen, cuaca, dan lain-lain. Yang kedua ya delivery dari stimulus itu tepat sasaran. Apakah pemerintah sudah bekerja serempak di lapangan untuk memastikan itu, dan lain sebagainya. Pemerintah juga bisa lebih fokus ke kelompok yang relatif lebih kaya dan mampu, terutama yang belum patuh dan di luar sistem itu bisa dikejar," pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya