Liputan6.com, Jakarta - Donald Trump akan dilantik pada 20 Januari 2025. Pelaku pasar masih menantikan kebijakan-kebijakan yang akan diambil Donald Trump setelah kembali menempati gedung putih.
Beberapa aset investasi berisiko seperti saham dan kripto diprediksi akan terdampak usai pelantikan Donald Trump. Analis VP Marketing, Strategy and Planning Kiwoom Sekuritas Indonesia, Oktavianus Audi menjelaskan pasar saham cenderung menghadapi kekhawatiran di tengah beberapa sentimen dari kebijakan Donald Trump.
Advertisement
Baca Juga
Beberapa kebijakan Donald Trump di antaranya adalah pengenaan dan kenaikan tarif dari beberapa negara, seperti Tiongkok yang dikhawatirkan menahan normalisasi inflasi yang belum mencapai target Federal Reserve (the Fed) atau bank sentral Amerika Serikat.
Advertisement
"Kemudian suku bunga akan tertahan di level tinggi lebih panjang dari ekspektasi pasar sehingga berpotensi menekan daya beli. Selain itu, perpindahan alokasi aset ke dalam low risk dengan berpotensi terjadi capital outflow,” kata Oktavianus kepada Liputan6.com.
Oktavianus menambahkan setelah Indonesia tergabung dalam BRICS, mengkhawatirkan kebijakan politis pengenaan tarif untuk konstituen BRICS seiring dengan konstituen mulai meninggalkan penggunaan dolar Amerika Serikat.
"Salah satunya dari komoditas energi dan mineral yang menjadi keunggulan Indonesia akan menjadi negatif jika dikenakan tarif. Kami berpandangan sektor yang masih akan menarik adalah keuangan, konsumer dan bahan baku.
Kondisi Pasar Saham AS dan Kripto
Sedangkan untuk pasar kripto dan saham AS, diprediksi masih cukup positif di tengah sentimen pelantikan Trump. Analyst Reku Fahmi Almuttaqin mengatakan momentum pelantikan Trump dan gebrakan-gebrakan awalnya khususnya bagi industri dan pasar kripto dapat turut memperkuat momentum yang ada.
Kondisi Pasar Cukup Positif
"Meskipun secara umum tren bullish di pasar crypto dan saham AS masih relatif solid, tidak diturunkannya suku bunga pada pertemuan FOMC mendatang berpotensi memberikan tekanan bagi pasar, terlebih apabila The Fed kembali memaparkan proyeksi kebijakan ke depan yang akan lebih ketat seperti yang terjadi pada pertemuan sebelumnya,” jelas Fahmi kepada Liputan6.com.
Dengan demikian, menurut Fahmi meskipun kondisi pasar saat ini cukup positif, kehati-hatian serta responsivitas investor terhadap perkembangan situasi yang ada masih sangat diperlukan guna menjaga pertumbuhan portofolio investasinya.
"Momentum pasar saat ini juga dapat dimanfaatkan investor untuk mengoptimalkan performa portofolionya dengan mengambil lebih banyak posisi trading untuk memanfaatkan volatilitas yang ada pada aset-aset strategis selagi memantau potensi reli selanjutnya,” pungkasnya.
Advertisement
Pertumbuhan Ekonomi Global Berisiko Stagnan Imbas Tarif Impor Donald Trump
Sebelumnya, Bank Dunia mengungkapkan perekonomian global akan stagnan tahun ini, di tengah kekhawatiran termasuk tarif impor baru yang dikenakan pemerintahan presiden terpilih AS Donald Trump.
Melansir BBC, Jumat (17/1/2025) Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi global akan stagnan di kisaran 2,7% di 2025, menjadikan kinerja terlemah sejak 2019, selain dari kontraksi tajam yang terlihat pada puncak pandemi Covid-19.
Wakil Kepala Ekonom Bank Dunia, Ayhan Kose mengatakan, tarif perdagangan, yang akan diberlakukan Donald Trump dapat memiliki konsekuensi ekonomi di seluruh dunia.
Prospek pajak yang lebih tinggi yang diberlakukan pada impor ke AS mengkhawatirkan banyak pemimpin dunia karena hal itu akan membuat perusahaan lebih mahal untuk menjual barang-barang mereka di AS.
Kose mengatakan, "meningkatnya ketegangan perdagangan antara negara-negara ekonomi utama merupakan salah satu kekhawatiran terbesar terhadap ekonomi global pada tahun 2025”.
Kekhawatiran lainnya termasuk suku bunga yang tetap tinggi untuk waktu yang lebih lama dan meningkatnya ketidakpastian kebijakan yang merusak kepercayaan bisnis dan investasi.
Bank Dunia mengatakan bahkan kenaikan 10% tarif AS atas impor dari setiap negara akan mengurangi pertumbuhan ekonomi global sebesar 0,2% jika negara-negara tidak menanggapi.
"Jika mereka melakukannya, ekonomi global dapat terpukul lebih keras,” tambah Kose.
"Setiap kali Anda memberlakukan pembatasan perdagangan, akan ada konsekuensi buruk yang paling sering dialami oleh negara yang memberlakukannya," bebernya.
Standar Hidup Tidak Meningkat
Kose lebih lanjut menuturkan, tingkat pertumbuhan rendah yang diperkirakan untuk ekonomi dunia pada 2025 berarti standar hidup tidak akan meningkat dengan kecepatan yang dilihat beberapa tahun lalu.
Kose menjelaskan, dalam dekade sebelum pandemi, pertumbuhan rata-rata lebih dari 3% per tahun.
"Jika Anda melihat dalam jangka waktu yang lebih lama, kami pikir angka pertumbuhan akan turun. Itu membuat kami khawatir," ia menambahkan.
Bank Dunia: Negara-negara di Dunia Perlu Siapkan Kebijakan Ekonomi Strategis
Pertumbuhan ekonomi secara luas dipandang sebagai hal mendasar untuk mengurangi kemiskinan dan mendanai layanan publik seperti perawatan kesehatan dan pendidikan.
Hal itu juga penting untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan upah, ketika inflasi tetap berada di atas target 2% yang ditetapkan oleh bank sentral di zona euro, Inggris, dan AS.
Sejumlah negara kini tengah berjuang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
"Intinya adalah tidak ada ozempic untuk pertumbuhan ekonomi. Negara-negara perlu memikirkan kebijakan apa yang akan diterapkan," ujar Kose.
Advertisement