Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Bambang Brodjonegoro mengaku kewajiban perusahaan tambang untuk membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) mineral pada tahun 2014 akan mendongkrak pajak hilirisasi tambang.
Ketentuan ini tercantum dalam Undang-undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu bara (Minerba). Dia mengatakan, perusahaan pertambangan masih tetap diizinkan untuk melakukan kegiatan ekspor mineral dengan satu catatan.
"Tetap bisa ekspor, tapi mereka harus jelas dulu rencana pembangunan smelternya kapan selesai. Kalau smelternya selesai, ya bisa ekspor lagi. Tapi kalau tidak bangun smelter, risikonya tidak bisa ekspor," jelas Bambang di Jakarta, Senin (29/7/2013) malam.
Hasil dari ekspor mineral jadi atau bernilai tambah, lanjut dia, akan menjadi pajak hilirisasi dari perusahaan pertambangan dan masuk ke penerimaan negara. Jadi era saat ini telah berganti.
"Kalau smelternya berkembang, produksi banyak dan pajaknya bisa naik. Jadi yang dilihat bukan rolayti lagi, sehingga ada peralihan dari era royalti ke era pajak (hilirisasi)," tukas dia.
Wakil Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Susilo Siswoutomo, sebelumnya menyatakan pesimistis proyek pembangunan smelter mineral bisa selesai sesuai amanat UU. "Jadi kami realistis saja, kan kemarin belum ada pembangunan," katanya.
Belum tersedianya smelter di dalam negeri, membuat pemerintah memperpanjang izin ekspor bijih mineral mentah bagi pengusaha tambang setelah 2014. Awalnya berdasarkan UU Minerba, pemerintah melarang ekspor mineral mentah selambat-lambatnya pada tahun depan.
Menurut Susilo, izin ekspor baru diberikan jika perusahaan tersebut memenuhi seperti membayar bea keluar sebesar 20%, mempunyai sertifikat clear and clean atau dinyatakan sudah tidak mempunyai masalah dari Direktur Jenderal (Dirjen) Minerba Kementerian ESDM, menyampaikan rencana pengolahan dan pemurnian, serta menandatangani pakta integritas. (Fik/Nur)
Ketentuan ini tercantum dalam Undang-undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu bara (Minerba). Dia mengatakan, perusahaan pertambangan masih tetap diizinkan untuk melakukan kegiatan ekspor mineral dengan satu catatan.
"Tetap bisa ekspor, tapi mereka harus jelas dulu rencana pembangunan smelternya kapan selesai. Kalau smelternya selesai, ya bisa ekspor lagi. Tapi kalau tidak bangun smelter, risikonya tidak bisa ekspor," jelas Bambang di Jakarta, Senin (29/7/2013) malam.
Hasil dari ekspor mineral jadi atau bernilai tambah, lanjut dia, akan menjadi pajak hilirisasi dari perusahaan pertambangan dan masuk ke penerimaan negara. Jadi era saat ini telah berganti.
"Kalau smelternya berkembang, produksi banyak dan pajaknya bisa naik. Jadi yang dilihat bukan rolayti lagi, sehingga ada peralihan dari era royalti ke era pajak (hilirisasi)," tukas dia.
Wakil Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Susilo Siswoutomo, sebelumnya menyatakan pesimistis proyek pembangunan smelter mineral bisa selesai sesuai amanat UU. "Jadi kami realistis saja, kan kemarin belum ada pembangunan," katanya.
Belum tersedianya smelter di dalam negeri, membuat pemerintah memperpanjang izin ekspor bijih mineral mentah bagi pengusaha tambang setelah 2014. Awalnya berdasarkan UU Minerba, pemerintah melarang ekspor mineral mentah selambat-lambatnya pada tahun depan.
Menurut Susilo, izin ekspor baru diberikan jika perusahaan tersebut memenuhi seperti membayar bea keluar sebesar 20%, mempunyai sertifikat clear and clean atau dinyatakan sudah tidak mempunyai masalah dari Direktur Jenderal (Dirjen) Minerba Kementerian ESDM, menyampaikan rencana pengolahan dan pemurnian, serta menandatangani pakta integritas. (Fik/Nur)