Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hasan Bisri mengaku tidak kaget dengan penangkapan Kepala SKK Migas, Rudi Rubiandini.
Pasalnya sebagai lembaga yang berkuasa di sektor hulu, SKK Migas tak bisa lepas dari godaan suap dari berbagai perusahaan asing maupun lokal.
"Kekuasaan SKK Migas terlalu besar baik dari aturan maupun finansial, sehingga perlu fungsi kontrol secara seimbang. Jadi lembaga ini godaannya sangat besar," ujar Wakil Ketua BPK, Hasan Bisri saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Rabu (14/8/2013).
Diakui dia, SKK Migas menjadi penentu dari kelancaran eksplorasi, eksploitasi, nilai tender dan kontrak dengan perusahaan migas serta perusahaan perdagangan minyak mentah hingga bagi hasil dengan pemerintah.
"Itu semua ditentukan oleh SKK Migas. Ditambah dengan pengelolaan cost recovery migas yang nilainya mencapai US$ 20 miliar per tahun menjadi godaan berat bagi SKK Migas," tutur dia.
Terkait cost recovery migas, Hasan mengatakan, dirinya dan Rudi Rubiandini kerap berbeda pandangan mengenai biaya tersebut.
"Saya tetap keukeuh bahwa status cost recovery merupakan uang negara. Tapi beliau bilang itu adalah uang swasta," lanjut dia.
Padahal status cost recovery ini telah terbukti mengancam dana APBN dari kasus bioremediasi.
Ketua Tim Penanganan Isu Sosial Lingkungan Sumatera Light South (SLS) Minas Chevron Pacifik Indonesia, Kukuh Kertasafari diganjar dua tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Dia terbukti bersalah melakukan korupsi proyek bioremediasi di Riau tahun 2006-2011. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Agung, yakni 5 tahun penjara.
Kasus bioremediasi Chevron bermula saat Kejaksaan Agung menduga pekerjaan bioremediasi fiktif di 28 lokasi lahan bekas pengolahan minyak.
Meski fiktif, Chevron tetap mengklaim biaya yang telah dikeluarkan sebagai biaya pemulihan kepada BP Migas senilai US$ 6,9 juta untuk pembayaran pekerjaan kepada perusahaan pelaksana bioremediasi PT Sumigita Jaya dan PT Green Planet Indonesia. (Fik/Nur)
Pasalnya sebagai lembaga yang berkuasa di sektor hulu, SKK Migas tak bisa lepas dari godaan suap dari berbagai perusahaan asing maupun lokal.
"Kekuasaan SKK Migas terlalu besar baik dari aturan maupun finansial, sehingga perlu fungsi kontrol secara seimbang. Jadi lembaga ini godaannya sangat besar," ujar Wakil Ketua BPK, Hasan Bisri saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Rabu (14/8/2013).
Diakui dia, SKK Migas menjadi penentu dari kelancaran eksplorasi, eksploitasi, nilai tender dan kontrak dengan perusahaan migas serta perusahaan perdagangan minyak mentah hingga bagi hasil dengan pemerintah.
"Itu semua ditentukan oleh SKK Migas. Ditambah dengan pengelolaan cost recovery migas yang nilainya mencapai US$ 20 miliar per tahun menjadi godaan berat bagi SKK Migas," tutur dia.
Terkait cost recovery migas, Hasan mengatakan, dirinya dan Rudi Rubiandini kerap berbeda pandangan mengenai biaya tersebut.
"Saya tetap keukeuh bahwa status cost recovery merupakan uang negara. Tapi beliau bilang itu adalah uang swasta," lanjut dia.
Padahal status cost recovery ini telah terbukti mengancam dana APBN dari kasus bioremediasi.
Ketua Tim Penanganan Isu Sosial Lingkungan Sumatera Light South (SLS) Minas Chevron Pacifik Indonesia, Kukuh Kertasafari diganjar dua tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Dia terbukti bersalah melakukan korupsi proyek bioremediasi di Riau tahun 2006-2011. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Agung, yakni 5 tahun penjara.
Kasus bioremediasi Chevron bermula saat Kejaksaan Agung menduga pekerjaan bioremediasi fiktif di 28 lokasi lahan bekas pengolahan minyak.
Meski fiktif, Chevron tetap mengklaim biaya yang telah dikeluarkan sebagai biaya pemulihan kepada BP Migas senilai US$ 6,9 juta untuk pembayaran pekerjaan kepada perusahaan pelaksana bioremediasi PT Sumigita Jaya dan PT Green Planet Indonesia. (Fik/Nur)