Mal Singapura Bisa Membludak Jika Pajak Smartphone Naik

Ditjen Pajak berjanji akan berhati-hati mengenakan pajak untuk barang mewah.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 23 Sep 2013, 15:22 WIB
Diterbitkan 23 Sep 2013, 15:22 WIB
mal-singapura-130923b.jpg
Rencana penerapan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) terhadap telepon seluler pintar alias smartphone terus menuai pro dan kontra. Kebijakan tersebut masih menimbulkan dilema termasuk bagi pemerintah sendiri.

Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan, Fuad Rahmany mengungkapkan, pihaknya masih mengkaji kebijakan tersebut dengan alasan masih ada jenis smartphone yang sudah tak layak dianggap barang mewah.

"Barang (smartphone) yang bukan barang mewah lagi, pajaknya kami turunkan. Tapi kalau ada barang yang selama ini belum kena pajak, kami akan kenakan dan naikkan. Jadi lihatnya jangan secara keseluruhan," papar dia saat ditemui usai Seminar Perpajakan di Jakarta, Senin (23/9/2013).

Fuad mengimbau seluruh pihak agar tidak menganggap pengenaan PPnBM akan diberlakukan bagi seluruh jenis smartphone. Persepsi yang keliru dikhawatirkan akan memicu masyarakat tak lagi berbelanja perangkat telekomunikasi tersebut.

"Kami juga tidak boleh terlalu mengejar pajak dari kebijakan tersebut, karena belum tentu berjalan dengan sukses," ujarnya.

Ditjen Pajak khawatir jika suatu barang dikenakan pajak terlalu tinggi, justru akan mengancam penerimaan pajak dari PPnBM. "Kalau tidak ada yang beli, penerimaan pajak malah tidak ada atau mereka malah belanja di Singapura karena naik pesawat saja cuma Rp 300 ribu. Ini kan tidak baik," ucap dia.

Dengan pertimbangan itu, Fuad memastikan Dirjen pajak akan mencermati pemberlakuan maupun pelaksanaan kebijakan tentang pajak barang mewah. "Jangan semua mau dikenakan pajak barang mewah, nanti justru tidak ada yang belanja di mal-mal Indonesia. Yang ramai malah mal di Singapura, jadi harus hati-hati," terang dia.

Meski begitu, dia belum bisa memastikan spesifikasi ataupun kriteria smartphone yang bakal dikenakan PPnBM mengingat kebijakan tersebut lahir dari Kementerian Keuangan, terutama Badan Kebijakan Fiskal (BKF).

"Saya tidak tahu, nanti kami lihat lagi karena tergantung jenisnya. Untuk urusan ini, harus ke BKF sebab kami lebih ke administratif perpajakan atau memberikan pendapat jika BKF ingin membuat suatu kebijakan," tukas Fuad. (Fik/Shd)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya