Bank Indonesia (BI) bersikukuh bisnis properti di Tanah Air masih menyimpan potensi gelembung (bubble) yang yang bisa pecah kapan saja. Keputusan kebijakan batas uang muka pinjaman atau Loan to Value (LTV) di kredit properti dan konsumsi beragun properti diyakini mampu memperketat penyaluran kredit di sektor tersebut.
Hasil survei yang dilakukan BI mengenai kepemilikan rumah menunjukan sektor properti masih mengalami tingkat investasi yang tinggi dibandingkan produk lainnya. Dari 5.000 responden yang tersebar di seluruh Indonesia, 42,5% masih memilih investasi di sektor properti. Sedangkan 64% responden berencana menyalurkan investasinya di sektor properti dalam satu tahun kedepan.
"Mereka banyak yang bilang, mengapa mereka memilih investasi di sektor properti, karena mereka berekspektasi sektor properti akan mengalami kenaikan harga," ujar Asisten Gubernur Bank Indonesia (BI), Mulya Effendi Siregar ketika ditemui dalam acara seminar prospek Pembiayaan Properti Setelah Bank Dilarang Membiayai KPR Inden di Royal Kuningan Hotel Jakarta, Kamis (28/11/2013).
Menurut Mulya, bank sentral berharap kalangan perbankan berhati-hati dalam penyaluran kredit properti karena adanya ekspektasi kenaikan harga. fenomena ini pula yang bisa memicu terjadinya bubble properti.
BI melaporkan, indeks pertumbuhan harga properti residensial tercatat lebih tinggi dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) per kapita Indonesia. "Jika GDP per kapita kita lambat dari pertumbuhan indeks harga properti residensial, kalau itu didiamkan saja, maka akan terjadi bubble properti. Itu yang tidak kami inginkan," tegasnya.
Harga properti dalam 9 bulan terakhir diketahui mencatat peningkatan terus menerus. Tercatat indeks harga residensial pada kuartal I-2013 sebesar 11,2% dan naik menjadi 13,51% pada kuartal II-2013. Indeks harga properti kembali menguat pada kuartal III-2013 menjadi 14,64%.
Mulya mengakui, kalang perbankan hingga kini masih sangat berani mengenakan LTV tinggi dengan alasan adanya perkiraan kenaikan harga jual. "Itu yang harus djalankan dengan hati-hati, kita tidak mau kan mengalami krisis seperti negara lain. Kami harus antisipasi," tutupnya. (Dis/Shd)
Hasil survei yang dilakukan BI mengenai kepemilikan rumah menunjukan sektor properti masih mengalami tingkat investasi yang tinggi dibandingkan produk lainnya. Dari 5.000 responden yang tersebar di seluruh Indonesia, 42,5% masih memilih investasi di sektor properti. Sedangkan 64% responden berencana menyalurkan investasinya di sektor properti dalam satu tahun kedepan.
"Mereka banyak yang bilang, mengapa mereka memilih investasi di sektor properti, karena mereka berekspektasi sektor properti akan mengalami kenaikan harga," ujar Asisten Gubernur Bank Indonesia (BI), Mulya Effendi Siregar ketika ditemui dalam acara seminar prospek Pembiayaan Properti Setelah Bank Dilarang Membiayai KPR Inden di Royal Kuningan Hotel Jakarta, Kamis (28/11/2013).
Menurut Mulya, bank sentral berharap kalangan perbankan berhati-hati dalam penyaluran kredit properti karena adanya ekspektasi kenaikan harga. fenomena ini pula yang bisa memicu terjadinya bubble properti.
BI melaporkan, indeks pertumbuhan harga properti residensial tercatat lebih tinggi dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) per kapita Indonesia. "Jika GDP per kapita kita lambat dari pertumbuhan indeks harga properti residensial, kalau itu didiamkan saja, maka akan terjadi bubble properti. Itu yang tidak kami inginkan," tegasnya.
Harga properti dalam 9 bulan terakhir diketahui mencatat peningkatan terus menerus. Tercatat indeks harga residensial pada kuartal I-2013 sebesar 11,2% dan naik menjadi 13,51% pada kuartal II-2013. Indeks harga properti kembali menguat pada kuartal III-2013 menjadi 14,64%.
Mulya mengakui, kalang perbankan hingga kini masih sangat berani mengenakan LTV tinggi dengan alasan adanya perkiraan kenaikan harga jual. "Itu yang harus djalankan dengan hati-hati, kita tidak mau kan mengalami krisis seperti negara lain. Kami harus antisipasi," tutupnya. (Dis/Shd)