Liputan6.com, Jakarta - Megabintang Timnas Argentina Lionel Messi dan kapten Timnas Portugal, Cristiano Ronaldo, dikenal sebagai pemain terbaik di dunia hampir dalam dua dekade belakangan.
Messi dan Ronaldo sudah mempersembahkan sejumlah gelar mewah untuk klub yang dibela. Begitu juga dengan gelar pribadi, Messi dan Ronaldo adalah dua pemain yang kerap mencatatkan rekor.
Baca Juga
Salah satu yang paling utama adalah kesuksesan Messi menjadi pengoleksi Ballon d'Or (7) terbanyak. Sedangkan Ronaldo menggoreskan berbagai sejarah di pentas internasional.
Advertisement
Saat ini dia adalah pemegang rekor pencetak gol terbanyak di kancah internasional, dengan torehan 117 gol dalam 186 pertandingan. Dia mengungguli legenda Iran, Ali Daei, pada September 2021.
Namun, ada satu rekor yang mustahil untuk disamai Messi dan Ronaldo. Rekor tersebut adalah milik legenda Timnas Brasil, Marcos Evangelista de Moraes, atau yang lebih dikenal dengan nama Cafu.
Cafu adalah satu-satunya pemain di bumi yang merasakan tampil di tiga final Piala Dunia secara beruntun.
Hebatnya lagi, dari tiga final tersebut, mantan pemain AC Milan itu berhasil mengangkat trofi Piala Dunia sebanyak dua kali.
Piala Dunia 1994
Cafu menjalani final Piala Dunia pertama edisi 1994 di Amerika Serikat. Kala itu, Timnas Brasil yang tampil spektakuler sejak penyisihan grup menghadapi Timnas Italia.
Memang, Cafu tidak menjadi starting line-up. Tapi, cederanya Jorginho pada menit ke-21 menjadi berkah tersendiri untuknya, Dia pun dipercaya untuk bermain sbagai bek sayap.
Pertandingan berjalan sengit hingga harus berlanjut dengan adu penalti. Pada drama adu penalti, Brasil keluar sebagai juara dengan skor 3-2. Cafu pun berhasil merasakan menjadi juara dunia untuk yang pertama kalinya.
Advertisement
Piala Dunia 1998
Piala Dunia 1998 di Prancis bukan momennya Cafu. Brasil yang gagah melaju hingga ke partai final, berakhir antiklimaks. Cafu yang dimainkan sejak babak pertama hingga akhir nyatanya tidak mampu membendung tim tuan rumah. Brasil dihabisi tiga gol tanpa balas.
Cafu pun mengakui bahwa saat itu, Zinedine Zidane dan kolega bermain lebih baik, dan pantas menjadi pemenang.
"Pada tahun 1998, sayangnya kami menghadapi tim yang lebih baik. Prancis bermain sangat baik dalam pertandingan itu," kata Cafu, dilansir FIFA.
"Banyak orang mengatakan bahwa Brasil tidak bermain bagus, tetapi itu menghilangkan prestasi Prancis. Kami tidak bermain cukup baik untuk mengalahkan mereka," ujarnya, menambahkan.
Piala Dunia 2002
Piala Dunia 2002 menjadi penutup rekor Cafu. Jepang-Korea Selatan menjadi saksi sejarah. Di partai final melawan Jerman, Cafu yang saat itu berusia 32 tahun dipercaya menjadi kapten.
Cafu berhasil memimpin rekan-rekannya untuk menglahkan Jerman 2-0. Kemenangan ini sekaligus menempatkan Brasil sebagai kampiun Piala Dunia terbanyak yakni lima kali.
"Memimpin sekelompok pemain yang ingin menang jauh lebih mudah daripada memimpin kelompok yang meragukan diri sendiri, tidak berkomitmen, atau terpecah belah," kata Cafu.
"Tim Brasil 2002 sangat mudah untuk dipimpin. karena semua orang memiliki tujuan yang sama, yaitu menjadi juara dunia. Ketika Anda memiliki kebersamaan itu, dan tidak ada ego, tentu membuat pekerjaan Anda sebagai kapten menjadi lebih mudah," jelasnya.
Advertisement
Brasil Kekurangan Pemain Bintang
Di Piala Dunia 2022 Qatar, Cafu menyebut Brasil punya tugas berat untuk kembai menjadi juara. Pasalnya, Tim Samba saat ini kekurangan pemain bintang. Cafu menilai, ada kesenjangan pemain sejak 2010, dan mulai saat itu perlaha tercipta jarak antarpemain dengan suporter.
Dia mencontohkan, pada 2002 lalu, para penggemar sudah tahu siapa saja pemain yang akan dibawa untuk Piala Dunia, siapa yang jadi pemain utama, dan siapa yang akan menjadi pengganti.
"Ini adalah tahun Piala Dunia dan sayangnya kami tidak dapat memastikan siapa yang akan pergi ke Qatar. Ini sangat berbeda dengan perasaan pada tahun 2002, ketika semua orang tahu siapa yang akan memulai dan siapa yang memiliki peluang paling besar untuk diganti selama pertandingan," kata Cafu, dilansir The Guardian.
"Fans tahu cerita kami dan di mana kami bermain. Para penggemar merasa dekat dengan skuat. Ada jarak antara penggemar dan skuat nasional dan itu telah berkembang sejak 2010," jelasnya.