[Cek Fakta] Prabowo: Tax Ratio RI 16 Persen di Era Orde Baru

Prabowo Subianto membandingkan tax ratio Indonesia pada era Orde Baru dan saat ini.

oleh Siti Khotimah diperbarui 13 Apr 2019, 21:41 WIB
Diterbitkan 13 Apr 2019, 21:41 WIB
Gaya Jokowi dan Prabowo Saat Debat Kedua Capres
Calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto memberi paparannya dalam debat kedua Pilpres 2019 di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/2). Semua pertanyaan dalam debat kedua ini dirahasiakan. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Masalah pajak menjadi fokus pada segmen ketiga debat pamungkas Pilpres 2019 antara Jokowi-Ma'ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga.

"Masalah penerimaan negara ini sangat krusial. Seharusnya kita menerima Rp 4.000 triliun per tahun tapi ternyata hanya Rp 2.000 triliun, berarti ada kebocoran Rp 2.000 triliun," kata Prabowo dalam debat yang digelar di Hotel Sultan pada Sabtu (13/4/2019).

Ia menambahkan, saat Orde Baru, tahun 1997, tax ratio di Indonesia 16 persen. "Sekarang merosot menjadi 10 persen," tambah Prabowo.

Benarkah tax ratio pada masa Orde Baru sebesar 16 persen?

Penelusuran Fakta

Seperti dikutip dari situs Kontan.co.id, hal serupa pernah disampaikan Prabowo dalam Indonesia Economic Forum di Shangrilla Hotel, Rabu 21 November 2018.

Benarkah tax rasio Orde Baru lebih baik dari saat ini. Berikut kutipan dari artikel berjudul, Prabowo sebut rasio pajak orde baru 16%, benarkah?:

 

Calon presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto mengkritik tax ratio, atau rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto saat ini yang masih di bawah 11%.

Dia mengatakan, tax ratio Indonesia saat ini lebih rendah dibandingkan era Orde Baru yang bisa sebesar 14%-16%. Hal itu disampaikannya saat pidato di Indonesia Economic Forum di Shangrilla Hotel, Rabu, 21 November 2018.

Namun menurut Direktur Eksekutif Center of Indonesian Tax Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, tax ratio era Orde Baru (kurun 1990-1998) dan sebelumnya, tak pernah lebih tinggi daripada tax ratio selama era Reformasi.

Sebelum ke data, ada baiknya memahami lebih dulu tax ratio. Yustinus membagi tax ratio dalam dua arti yakni arti sempit dan luas. Dalam arti sempit, tax ratio adalah rasio penerimaan pajak yang hanya dikumpulkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Sementara dalam arti luas, tax ratio adalah rasio penerimaan pajak ditambah penerimaan bea cukai dan Penerimaan Negara Bukan Pajak sumbardaya alam (SDA). Artinya penerimaan negara yang tidak hanya berasal dari DJP.

Nah, dalam arti sempit, Yustinus mengatakan bahwa tax ratio era Orde Baru tak pernah lebih besar dari era Reformasi. Ia sendiri sudah melakukan riset terhadap nota keuangan dan APBN.

"Bahkan lebih rendah dibanding tax ratio 2017 (arti sempit). Ingin mencapai 16 persen tentu sah dan baik, tapi tanpa peta jalan dan strategi yang tepat, justru berpotensi menciptakan ketidakadilan baru," ujarnya Sabtu (24/11).

Dalam arti sempit, tax ratio RI tahun 2012 mencapai 9,70%, kemudian 9,65% (2013), 9,32 persen (2014), 9,19% (2015), 8,91% (2016), dan 8,47% (2017).

Adapun tax ratio pada tahun 2005 tax ratio mencapai 10,76% dan tahun 2001 sebesar 9,63%. Sementara itu dari hasil pelacakan dari Nota Keuangan dan APBN (Kemenkeu), tax ratio 1990-1998 berturut-turut sebesar 6,19% (1990), 6,72% (1991), 7,31% (1992), 7,30% (1993), 7,68 persen (1994), 8,20% (1995), 7,86% (1996), 8,03% (1997), dan 6,05% (1998).

Ditarik mundur lebih ke belakang, tax ratio Indonesia pada 1972 mencapai 7,33%, kemudian 6,70% (1980), dan 5,25% (1984). Arti luas Adapun dalam arti luas, data tax ratio era Orde Baru dinilai masih samar.

Menurut dia, perhitungan tax ratio dalam arti luas baru dimulai pasca Reformasi. Oleh karena itulah perhitungan tax ratio saat ini lebih dalam arti luas sehingga persentasenya lebih besar dari tax ratio arti sempit. Sebab tak hanya sebatas penerimaan pajak DJP, namun juga Bea Cukai dan PNBP SDA.

Formula ini sering dipakai untuk mengukur kinerja pemungutan pajak. Meski demikian kata dia, tax ratio bukanlah satu-satunya alat ukur bagi kinerja institusi pemungut pajak. Lantaran ada beberapa faktor dan kondisi yang perlu diperiksa dan dibandingkan.

Misalnya, besaran insentif pajak, besarnya sektor informal (underground economy) hingga insentif untuk menghindari pajak.

Oleh karena itulah Yustinus turut mempertanyakan data siapa yang dipakai oleh Prabowo untuk merujuk tax ratio Orde Baru 14%-16%. Sebab bila mengacu kepada data tax ratio dalam arti sempit, maka dia menilai sulit untuk mencapai angka 14%-16%. Demikian juga tax ratio dalam arti luas.

"Tidak mungkin pendapatan cukai dan PNBP SDA sampai 6%-7% karena waktu itu pajak hanya 8%-9% persen saja," kata dia. Lagi pula kata Yustinus, bila tax ratio Indonesia sudah 14%-16% pada era Orde Baru, maka Indonesia tak perlu melakukan reformasi pajak 2001. Namun kenyataanya reformasi dilakukan, salah satu tujuannya yakni meningkatkan tax ratio.

 

Seperti dikutip dari Liputan6.com, pengusaha ketar-ketir jika tax ratio naik jadi 16 persen seperti yang diwacanakan Prabowo.

Berikut kutipan berita berjudul Pengusaha Ketar-Ketir Jika Tax Ratio Naik Jadi 16 Persen yang dimuat Liputan6.com pada 18 Januari 2019:

 

Calon Pesiden nomor urut 02 Prabowo Subianto berencana menaikkan gaji Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai upaya pencegahan korupsi di kalangan birokrat. Untuk membiayai kenaikan gaji pegawai negeri sipil (PNS) tersebut, salah satu upayanya dengan menggenjot pemasukan negara dari sisi pajak, yakni meningkatkan rasio pajak (tax ratio) hingga mencapai 16 persen.

Direktur Eksekutif Center of Indonesia Taxtion Analysis (CITA), Yustinus Prastowo mengatakan, upaya menaikkan tax ratio memang sudah menjadi tanggung jawab pemerintah. Sebab untuk dapat mencapai tujuan pembangunan yang optimal, setidaknya dibutuhkan level tax ratio 16 persen.

"Jadi saat ini baik pasangan Jokowi-Makruf Amin maupun Prabowo-Sandiaga Uno sudah selayaknya memberi perhatian pada perbaikan sistem perpajakan agar kita mampu mencapai level optimal untuk pembangunan," kata Yustinus saat dihunbungi merdeka.com, Jumat (18/1/2019).

Namun dirinya menyayangkan apabila kenaikan tax ratio dijadikan sebagai solusi jangka pendek untuk digunakan mengatasi akar permasalahan korupsi, yakni gaji PNS dan aparat penegak hukum yang dianggap masih rendah.

"Logika sederhana pemerintah ingin menarik pajak lebih besar dari rakyat, untuk membiayai para aparatur negara yang tugasnya melayani kepentingan rakyat. Lalu kita bergumam 'mahal bener ya mengongkosi pelayan'," imbuh Yustinus.

Hasrat menggenjot tax ratio dalam jangka pendek jelas hanya bisa bertumpu pada kenaikan tarif pajak, bukan sebaliknya. Penurunan tarif pajak dalam jangka pendek bahkan akan menurunkan penerimaan, apalagi tingkat kepatuhan dinilainya masih cukup rendah dan basis pajak belum bertambah signifikan.

"Catatan ini hanya ingin menguji rasionalitas program jangka pendek. Jangan sampai para ASN keburu girang bukan kepalang, di saat bersamaan para pelaku usaha dan wajib pajak ketar-ketir karena siap-siap jadi sasaran perburuan target pajak," katanya.

Berdasarkan catatan, PDB 2018 kurang lebih mencapai sebesar Rp 14.745 triliun. Sehingga kata Yustinus, kenaikan ke 16 persen naik 4,5 persen dari tax ratio 2018 sebesar 11,5 persen adalah Rp 663 triliun, atau 48 persen dari pendapatan negara 2014.

"Mungkinkah dalam jangka pendek menarik pajak yang nilainya dua kali lipat kenaikan 2015-2018, tanpa menimbulkan kegaduhan dan menggencet pelaku usaha?" cetus Yustinus.

 

Baca juga tanggapan Menkeu Sri Mulyani soal tax rasio di tautan ini. 

Berikut data Rasio Pajak (Tax Ratio) dari Masa ke Masa dari 2010 sampai 2017 seperti dimuat oleh Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan pada 10 September 2018.

Kinerja Penerimaan Negara Tahun 2010-2017 (Sumber: Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuanga RI)

 

Sementara, Puri Mahestyanti, Peneliti CORE Indonesia, menyebut bahwa tax ratio adalah jumlah penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto, artinya jika PDB meningkat dengan jumlah penerimaan pajak tetap, besar tax ratio akan menurun.

"Sehingga kita tidak bisa bilang bahwa tax ratio tahun 1997 lebih baik daripada sekarang, karena ekonomi kita terus tumbuh, sedangkan pertumbuhan penerimaan pajak kita lambat. Selama Jan-Feb pendapatan pajak dalam negeri kita turun menjadi 4% dari tahun lalu yang sebesar 21%," kata Puri Mahestyanti, Peneliti CORE Indonesia.

Ia menambahkan, hingga saat ini realisasi pajak Indonesia masih belum mencapai target, padahal pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang cukup besar.

"Pemerintah perlu mulai fokus meningkatkan pendapatan pajak, baik secara intensifikasi maupun ektensifikasi, misal dengan memperluas objek yang dikenakan pajak," kata dia.

 

Rasio Pajak Terhadap PDB Indonesia, Peru, dan Afrika Selatan (Sumber: World Bank)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya