Pakar Bantah Mandi Malam Jadi Penyebab Pneumonia dan Paru-paru Basah: Itu Mitos

Pakar paru, Profesor Tjandra Yoga Aditama, menegaskan bahwa mandi malam bukanlah penyebab pneumonia atau yang sering disebut paru-paru basah.

oleh Hanz Jimenez Salim diperbarui 13 Sep 2024, 11:00 WIB
Diterbitkan 13 Sep 2024, 11:00 WIB
Profesor Tjandra Yoga Aditama mengatakan tidak cuma paru yang terkena dampak dari polusi udara. Mata hingga kulit juga terkena efek dari kualitas udara yang tidak sehat.
Profesor Tjandra Yoga Aditama mengatakan tidak cuma paru yang terkena dampak dari polusi udara. Mata hingga kulit juga terkena efek dari kualitas udara yang tidak sehat.

Liputan6.com, Jakarta - Pakar paru, Profesor Tjandra Yoga Aditama menegaskan bahwa anggapan mandi malam dapat menyebabkan pneumonia atau kondisi yang kerap disebut paru-paru basah hanyalah mitos belaka.

Menurut Tjandra, pneumonia disebabkan oleh bakteri pneumokokus dan streptokokus,  virus termasuk COVID-19, atau kadang-kadang parasit. Gejala pneumonia bervariasi dari ringan hingga berat, tergantung pada jenis kuman penyebab infeksi, usia, dan kondisi kesehatan seseorang secara keseluruhan.

"Penyebab pneumonia dan paru-paru basah bukanlah karena mandi malam atau terkena semprotan kipas angin. Ini adalah mitos," kata Tjandra dilansir dari Antara, Jumat (13/9/2024).

Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) ini menambahkan, gejala pneumonia dapat mirip dengan pilek atau flu tetapi biasanya berlangsung lebih lama.

Tanda-tanda yang umum meliputi nyeri dada saat bernapas atau batuk, kebingungan atau perubahan kesadaran mental pada orang dewasa usia 65 tahun ke atas, batuk yang dapat menghasilkan dahak, kelelahan, demam, berkeringat, menggigil, suhu tubuh yang lebih rendah dari normal pada orang dewasa usia lanjut, mual, muntah atau diare, kesulitan bernapas, dan kehilangan nafsu makan.

Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi DKI Jakarta mencatat bahwa kasus pneumonia pada balita di DKI Jakarta selama tahun 2019-2021 mencapai sekitar 78.659 kasus.

Sementara itu, istilah paru-paru basah sebenarnya bukan istilah kedokteran. Menurut Tjandra, kondisi yang sebenarnya dimaksud adalah penyakit efusi pleura.

"Sebenarnya cairannya bukan berada di dalam paru, tetapi dalam selaput di sekitar paru, tepatnya antara selaput yang membungkus paru (pleura viseralis) dan selaput yang melapisi bagian dalam dinding dada (pleura parietalis)," tambah Tjandra.

Menurutnya, ada tiga penyebab utama terbentuknya cairan ini. Pertama karena infeksi seperti tuberkulosis (TB) atau radang lainnya, kanker, dan gangguan keseimbangan protein dalam tubuh.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Tentang Cek Fakta Liputan6.com

Melawan hoaks sama saja melawan pembodohan. Itu yang mendasari kami membuat Kanal Cek Fakta Liputan6.com pada 2018 dan hingga kini aktif memberikan literasi media pada masyarakat luas.

Sejak 2 Juli 2018, Cek Fakta Liputan6.com bergabung dalam International Fact Checking Network (IFCN) dan menjadi patner Facebook. Kami juga bagian dari inisiatif cekfakta.com. Kerja sama dengan pihak manapun, tak akan mempengaruhi independensi kami.

Jika Anda memiliki informasi seputar hoaks yang ingin kami telusuri dan verifikasi, silahkan menyampaikan di email cekfakta.liputan6@kly.id.

Ingin lebih cepat mendapat jawaban? Hubungi Chatbot WhatsApp Liputan6 Cek Fakta di 0811-9787-670 atau klik tautan berikut ini.

Lanjutkan Membaca ↓

Disclaimer: Artikel ini ditulis ulang oleh redaksi dengan menggunakan Artificial Intelligence

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya