Liputan6.com, Jakarta Subjek-predikat-objek, kita sama-sama tahu itu adalah pola dasar kalimat dalam bahasa Indonesia pada umumnya. Namun, saat ini predikat dalam suatu kalimat sering kali absen. Absennya sebuah predikat dalam kalimat akan membentuknya menjadi frasa. Tentu tak masalah kalau ini tersusun dalam tiga atau empat kata saja. Namun, bagaimana jika ternyata ada belasan atau puluhan kata di dalamnya? Coba kita lihat contohnya.
Baca Juga
Advertisement
“Karto sebagai kepala desa di sebuah daerah terpencil, jauh dari ingar-bingar dan kegiatan ekonomi kota.”
Ini memang kalimat majemuk, tapi kalimat intinya (kalaupun bisa disebut sebagai kalimat) tak memiliki predikat. Kalimat serupa ini banyak dijumpai akhir-akhir ini dalam tulisan media massa. Penyebabnya, sering kali, adalah banyak orang menganggap konjungsi seperti “untuk” dan “karena” sebagai kata kerja. Padahal, konjungsi tak bisa dijadikan predikat. Susunan kata itu hanya akan menjadi frasa. Dalam contoh kalimat sebelumnya, konjungsi “sebagai” dianggap sebagai predikat. Konjungsi “sebagai” dalam kalimat itu dapat digantikan dengan “merupakan” atau “adalah”.
Ada pula kecenderungan lain untuk menjadikan nomina turunan dari kata kerja sebagai subjek dan, lagi-lagi, malah menjadikan konjungsi sebagai predikatnya. Simak contoh berikut ini.
“Kedatangannya di kepolisian untuk menjadi saksi.”
Kalimat majemuk ini tak memiliki predikat karena kata kerja “datang” diturunkan menjadi nomina (kedatangan). Subjek pelakunya pun menjadi hilang. Akan lebih jernih seandainya kalimat ini menjadi: “Ia datang ke kepolisian untuk menjadi saksi.” Dengan begini, kita akan menghindari ketaksaan pula.
Di sisi lain, menurut Liberty P Sihombing, sebenarnya kalimat tanpa predikat lazim ditemui dalam bahasa Indonesia. Dalam hal ini, contoh kalimat yang ia sodorkan adalah “dia cantik”. Kalimat seperti ini serupa, misalnya, dengan “Ferry kaya” atau “dia sukses”. Ya, menurut dia pronomina dan kata sifat cukup untuk membentuk suatu kalimat.
Akan tetapi, contoh serupa ini hemat saya tak bisa selalu diterapkan. Dalam kalimat majemuk, hal ini akan membingungkan dan menimbulkan ketaksaan. Jadi, saya sepakat untuk pendapat ini sebatas digunakan dalam kalimat sederhana. Ketaksaan seharusnya adalah yang dihindari dalam tulisan di media massa. Sayangnya, hal ini malah sering kali ditemui sekarang ini.
Lebih jauh lagi, kebiasaan menjadikan konjungsi sebagai predikat memunculkan gejala penyimpangan lain. Karena konjungsi diperlakukan sebagai predikat, banyak yang mengira konjungsi pun dapat diberi imbuhan seperti halnya kata kerja. Mari kita lihat contoh kalimat berikut ini.
“Trotoar diperuntukkan untuk jalur pedestrian.”
Ini tak kalah membingungkan. Konjungsi “untuk”, selain diperlakukan sebagai predikat, bahkan mendapat imbuhan selayaknya verba. Jadi, sebenarnya kalimat tersebut mempunyai dua konjungsi, meskipun konjungsi itu secara sintaksis (dipaksa) menjadi predikat. Kata “diperuntukkan” tentu secara morfologis tak bisa diterima, karena konjungsi sendiri merupakan kata yang tak mempunyai makna gramatikal. Kata “diperuntukkan” dalam kalimat itu bisa diganti dengan “ditujukan” agar tak bermasalah. Dengan begitu, konjungsi “untuk” akan menjalani fungsinya dengan baik.
Pada akhirnya, kita harus menyadari bahwa konjungsi tak bisa mengisi peran predikat. Kebiasaan ini jika terus berlanjut akan menyebabkan kekeliruan lanjutan lainnya. Ya, anggap saja pengimbuhan terhadap konjungsi sebagai gejala awal. Sayangnya, gejala ini dianggap wajar. Bahkan KBBI telah memasukkan “diperuntukkan” sebagai sublema di KBBI. Sayang sekali jika kekeliruan semacam ini pun telah “dilegalkan” oleh Pusat Bahasa. (Edy Sembodo)
*Penulis adalah editor sekaligus pengamat bahasa media