Liputan6.com, Jakarta Proses demokratisasi yang sehat semestinya memberikan ruang dan waktu yang cukup kepada rakyat untuk menimbang dan mamahami tipologi kepemimpinan nasional yang akan mengelola Indonesia ke depan. Kontestasi Pemilu 2019 memang masih cukup jauh, namun dalam skala proses transformasi demokratik, ternyata waktu yang tersedia sedemikian ketatnya.
Apalagi proses pendidikan politik rakyat yang menyertai proses demokrasi harus disiapakan sejak dini, sebaiknya mulai tahun ini. Agar rasionalisasi dan daya timbang politik rakyat semakin baik terkait figur yang akan berkontes dalam pemilu.
Baca Juga
Jika lini waktunya cukup, maka proses demokratisasi bisa lebih egaliter dan kontennya tidak dimonopoli oleh pemodal yang cenderung berpolitik secara transaksional. Masyarakat mesti dicerahkan dan diluaskan horizonnya dalam mengenal figur-figur calon pemimpin bangsa. Para putra-putri bangsa yang memiliki kapasitas, keunggulan dan layak untuk dicalonkan menjadi pemimpin masa depan sudah selayaknya mulai dimunculkan secara fair dan obyektif.
Advertisement
Setiap jaman membutuhkan tipologi kepemimpinan tersendiri, karena tantangan dan masalah kebangsaan semakin komplek. Strategi pembangunan dan persaingan global membutuhkan kepemimpinan otentik yang mampu mengatasi fenomena “singa pemakan rumput” dalam berbagai bidang.
Diharapkan 2019 akan muncul kepemimpin otentik yang sangat berharga bagi perjalanan bangsa. Usaha untuk merumuskan dan menghasilkan kepemimpinan otentik tidak pernah berhenti dimuka bumi ini. Bahkan sekolah bisnis terkemuka di AS, Harvard, telah melakukan ribuan studi selama 50 tahun untuk mengidentifikasi dan memahami karakteristik pemimpin, ciri kepribadian dan gaya kepemimpinan dalam konteks model kepemimpinan otentik.
Kajian yang dilakukan oleh Bill George, profesor di Harvard, menyatakan bahwa kepemimpinan otentik akan diakselerasi dan berkembang oleh masing-masing calon berdasarkan pada dialektika kehidupannya sendiri. Kepemimpinan otentik berani menjadi dirinya sendiri. Dalam konteks keIndonesiaan pemimpin yang otentik harus bisa reinventing nilai-nilai kebangsaan yang diadaptasi dengan kemajuan teknologi.
Setiap periode jaman memiliki semangat atau jiwa sendiri-sendiri. Perlu kepemimpinan otentik yang mampu mengaktualisasikan gotong royong sesuai dengan semangat jaman dan kemajuan Iptek, sehingga menjadi The Indonesian Way yang bisa menjadi strategi pembangunan yang hebat.
Realitasnya, spektrum perekonomian di negeri ini sekarang ini bisa dianalogikan bahwa berbagai sektor dan kebijakan diwarnai oleh fenomena singa makan rumput. Yang mana singa merupakan gambaran dari perusahaan global/multinasional yang tengah beraksi di negeri ini untuk meraup belanja negara dan belanja masyarakat hingga skala yang terkecil. Kalau Singa sudah makan rumput, jadinya petani jadi sengsara hidupnya karena digencet oleh komoditas yang serba impor.
Pada saat ini ada beberapa figur pemimpin yang punya kapasitas dan kompetensi untuk atasi fenomena singa makan rumput melalui inisiatif, karya hebat dan kegiatan inovasi yang berskala global. Figur sipil seperti Ilham Habibie, Agus Harimurti Yudhoyono atau yang berlatar militer seperti Gatot Nurmantyo telah mendapatkan penilaian publik sebagai pemimpin otentik masa depan. Yang patut diperhitungan dalam pilpres 2019.
Rakyat menunggu pemimpin otentik yang bisa merumuskan The Indonesian Way yang berjiwa gotong royong. Kepemimpinan yang memberikan apresiasi kepada orang-orang kecil yang selama ini telah membesarkan Indonesia.
Berdikari Bangkitkan Negeri
Kepemimpinan otentik mampu mewujudkan berdikari bangkitkan negeri yang sebenarnya. Bukan berdikari semu atau seolah-olah. Ilham Habibie sebagai gambaran. Putra sulung Presiden RI ketiga BJ Habibie memiliki track record yang cukup lengkap untuk menjadi pemimpin otentik nasional.
Karya dan track record Ilham Habibie mirip ayahnya. Sejak kepulangannya dari Jerman, tidak ada langkah yang lebih penting bagi dirinya selain menyiasati kekuatan globalisasi lewat transformasi teknologi dan industri bagi bangsanya.
Untuk mengatasi dampak negatif globalisasi yang semakin mengganas, sebagai pemimpin otentik harus mampu aktualisasi warisan pendiri negeri ini yakni Berdikari. Sayangnya, kepemimpinan nasional selama ini belum berhasil meneguhkan jiwa Berdikari yang ditanamkan oleh Bung Karno bersama dengan koleganya tokoh Asia Seperti Mahatma Gandhi dan Sun Yat Sen.
Sayangnya, jiwa berdikari bangsa Indonesia tidak pernah tuntas sepeninggal Bung Karno. Sedangkan bangsa Tiongkok dan India sudah tuntas dan berbuah kebangkitkan negeri itu sehingga bisa mengejar ketertinggalan dengan negara maju.
Bagi Ilham Habibie jiwa berdikari bisa diwujudkan dengan cepat apabila ada ekosistem yang baik untuk merekayasa budaya dan transformasi teknologi yang kompatibel dengan portofolio kompetensi. Transformasi itu menurut konsultan internasional AT Kearney yang pernah membantu Ilham Habibie dalam mengimplementasikan strategi transformasi teknologi dan industri disebut Competency to Achieve Global Competitive Excellence.
Yang pada prinsipnya mengkonsolidasikan dan mengoptimalkan kapasitas terpasang SDM terbarukan di tanah air sehingga bisa terserap dalam proses nilai tambah secara ideal.
Tidak bisa dimungkiri lagi bahwa portofolio SDM terbarukan khususnya yang geluti Iptek dewasa ini mengalami proses involusi yang sangat serius. Banyak lulusan perguruan tinggi teknik di tanah air kesulitan mencari pekerjaan yang layak karena kebijakan impor telah menjadi panglima.
Pengalaman dan keahlian Ilham Habibie dalam hal Sistem Digital Terintegrasi Nusantara (Sidina) untuk proses Re-Engineering berbasis Advanced CAD/CAM/CAE Technology dalam rancang bangun Pesawat Jet N-2130 sangat berharga. Sistem itu dapat menunjukkan bahwa industri di Indonesia pada prinsipnya mampu melakukan dramatical improvement proses rancang/bangun dalam menghasilkan produk unggulan bernilai tambah tinggi, pada saat ini masih relevan.
Apa yang tergambar dalam jagat mikro industri pesawat terbang yang selama ini digeluti Ilham Habibie sangat berguna dan memberikan hikmah serta pencerahan kepada negeri ini bahwa sangat memungkinkan kita melakukan dramatical improvement dalam lingkup nasional untuk mengejar ketertinggalan. Kajian AT Kearney dan gambaran jagat mikro industri pesawat terbang diatas melahirkan arti pentingnya konsolidasi portofolio kompetensi dan produk dalam negeri yang adaptif terhadap peluang dan tantangan Globalisasi 3.0.
Berbagai inisiatif Ilham Habibie bersama ayahnya yang terkait dengan kebudayaan sangat penting bagi bangsa Indonesia untuk melakukan rekayasa budaya guna menumbuhkan karakter berlian dan etos kerja yang unggul. Jika rekayasa budaya bisa sinergi dengan transformasi teknologi yang berdaya saing, Insya Allah kebangkitan negeri ini akan terwujud dalam waktu yang lebih singkat.
Penulis:
Bimo Sasongko
Ketua Umum IABI
**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini
**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6