Liputan6.com, Jakarta Kasus pemerkosaan kembali terjadi, kali ini menimpa seorang santriwati yang merupakan penyandang disabilitas di Kabupaten Magelang.
Untuk memastikan korban mendapat perlindungan pemenuhan hak dan keadilan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) telah melakukan pengawalan.
Baca Juga
Saat ini, korban sudah dalam proses pendampingan baik secara fisik maupun psikologis oleh LSM SIGAB sebagai pendamping korban disabilitas dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Magelang.
Advertisement
“Kami akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas mulai dari proses penyidikan hingga putusan peradilan guna memberikän efek jera sebab tidak ada toleransi sekecil apapun terhadap segala bentuk kekerasan terhadap perempuan,” kata Deputi Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA, Ratna Susianawati, mengutip keterangan pers Rabu (26/1/2022).
Simak Video Berikut Ini
Pentingnya Perlindungan
Ratna menambahkan, perlindungan merupakan aspek penting yang harus dimiliki setiap masyarakat.
Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh negara dalam hal ini Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Ini tercantum dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
KemenPPPA memberikan apresiasi kepada P2TP2A Magelang, Polres Magelang, LSM SIGAB Yogyakarta dan Rifka Anisah Yogyakarta yang telah bersinergi dan saling mendukung dalam menangani dan mendampingi santriwati korban pemerkosaan.
“P2TP2A Kabupaten Magelang sudah melakukan upaya pendampingan dalam penanganan terhadap kondisi korban, berupa asesmen, pendampingan psikologis bersama Rifka Anisah Yogyakarta.”
“Dan pendampingan proses hukum, seperti penyusunan Berita Acara Perkara (BAP) dan konsultasi hukum. Saat ini korban masih akan menjalani pemeriksaan psikologis di Rumah Sakit Dr Sardjito di Yogyakarta,” kata Ratna.
Advertisement
Kasus Korban
Menurut keterangan KemenPPPA, korban diperkosa oleh terduga pelaku tiga orang laki-laki yang salah satu terduga pelakunya masih berusia anak, yakni 15 tahun.
Terduga pelaku berusia anak harus ditangani melalui Undang-Undang Perlindungan Anak dan Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Pelaku, diduga telah melanggar Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman hukuman penjara maksimal 12 tahun.
Ratna mengatakan, penyandang disabilitas rentan menjadi korban kekerasan seksual di lingkungannya dan rentan mendapat stigma atas kondisi kedisabilitasannya. Oleh sebab itu, perlindungan hukum kepada korban yang merupakan perempuan penyandang disabilitas merupakan pengayoman terhadap hak asasi manusia yang mengalami kerugian akibat perbuatan orang lain.
Perlindungan ini diberikan kepada masyarakat sehingga mereka dapat menjalankan seluruh hak-hak yang diperoleh dari hukum.
“Upaya perlindungan terhadap perempuan penyandang disabilitas tidak bisa ditangani oleh KemenPPPA saja harus bersinergi dengan melibatkan semua pihak yang terdiri dari unsur Kementerian/ Lembaga dan masyarakat,” kata Ratna.
Perlindungan hukum terhadap penyandang disabilitas diberikan kepada penyandang disabilitas korban perkosaan dengan menyelenggarakan hak-hak penyandang disabilitas seperti yang telah ditentukan dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, tutup Ratna.
Infografis Tunjangan Khusus Penyandang Disabilitas di Jakarta
Advertisement