Liputan6.com, Jakarta Teknologi Artificial Intelligence (AI) mengancam peluang hidup ratusan juta orang penyandang disabilitas di seluruh dunia.
Padahal di sisi lain, semua orang berisiko menjadi difabel pada waktunya sehingga sulit dalam mencari pekerjaan, catat Forbes.
Baca Juga
Laporan itu berdasarkan delapan dari 10 perusahaan swasta terbesar AS yang menggunakan AI untuk melacak metrik produktivitas pekerja individu secara real time, menurut The New York Times (NYT).
Advertisement
Susan Scott-Parker, juru kampanye inklusi disabilitas veteran dan pendiri kampanye Disability Ethical AI, memiliki pemikiran, “Bagaimana jika alasan saya tidak mencapai target karena atasan memberi saya one handed keyboard?”
"Pengembang teknologi sumber daya AI tidak diberi insentif untuk membuktikan produk mereka aman bagi pencari kerja atau karyawan penyandang disabilitas," katanya.
Maka itu banyak perusahaan dengan tegas menyatakan tidak bertanggung jawab jika karyawan difabel mengeluh, padahal itu adalah bagian diskriminasi.
"Beban tetap ada pada masing-masing pencari kerja penyandang disabilitas untuk membuktikan kemampuannya," ujar Susan.
Kita semua tahu pencari kerja jarang memiliki waktu atau motivasi untuk mengajukan tuntutan ketika ditolak untuk suatu pekerjaan. "Kita masih jauh dari ancaman risiko hukum yang benar-benar mempengaruhi SDM."
"Jadi, jika bukan litigasi, apa yang bisa meyakinkan mereka bahwa risiko yang ditimbulkan teknologi ini terhadap peluang hidup ratusan juta (apalagi risiko kalah dalam perang memperebutkan bakat) lebih besar daripada manfaat biaya bagi perekrut mereka?."
Bias dan Disabilitas
Penelitian terbaru dari New York University mengungkapkan bahwa 2 alat yang digunakan untuk memprediksi kepribadian dengan menganalisis kata-kata di resume dan profil LinkedIn Anda.
Masalahnya, menurut Forbes, batasan dalam teknologi untuk menentukan apakah seorang disabilitas layak diterima kerja atau tidak ini tergolong bias. Dan ini berbahaya bagi semua kelompok minoritas.
Kemampuan teknologi kita telah melampaui etika manusia dan kapasitas penalaran kita. Scott-Parker menceritakan kisah seseorang dengan Tourette mencoba melamar kerja lebih dari 100 kali melalui email, LinkedIn, panggilan telepon, dll.
“Kami membutuhkan undang-undang yang memudahkan kandidat bisa menyesuaikan pekerjaan secara efektif dan tanpa stigma-- sejak awal proses rekrutmen. Dan bagaimana dengan calon pekerja yang memiliki kelainan pada wajah, sementara perusahaan membutuhkan teknologi pengenalan wajah/emosi saat ia melihat ke kamera," lapornya.
"Beberapa regulator mulai menangani dampak potensial, positif dan negatif, dari Kecerdasan Buatan pada penyandang disabilitas. Tetapi tanggapan mereka sejauh ini masih standar mendiskriminasi kandidat penyandang disabilitas” lanjutnya.
Advertisement
Empat Kunci untuk Inklusi
Jadi, jika Anda seorang pengembang atau pembeli sumber daya AI, berikut adalah empat hal penting dalam mempekerjakan AI secara inklusi.
(1) Berhentilah sejenak sebelum menerapkan sistem kaku apa pun tanpa fleksibilitas, untuk pemantauan atau perekrutan.
(2) Hubungi berbagai penyandang disabilitas untuk mempertimbangkan potensi kekurangan dari berbagai perspektif.
Perlu Uji Coba
(3) Asumsikan AKAN ada kekurangan dan bantu memperbaikinya dengan uji coba.
(4) Berikan rincian kontak yang mudah kepada setiap orang jika disabilitas mereka mencegah mereka menggunakan sistem, sehingga Anda dapat meningkatkan inklusivitas, berdasarkan umpan balik dari manusia yang mencoba (tidak berhasil) untuk menavigasi sistem Anda.
Segalanya terlihat canggih dan cepat jika menyangkut AI Tech, tetapi kita tidak boleh menyerah pada prinsip-prinsip moral dan hukum kesetaraan dan inklusi disabilitas.
Advertisement