Liputan6.com, Jakarta Sarana dan prasarana yang ada di Indonesia belum sepenuhnya ramah disabilitas. Dalam membangun lingkungan yang lebih inklusif, berbagai pihak memiliki peran penting, termasuk mahasiswa arsitektur.
Menurut pembicara dari Bandung Independent Living Center (Bilic) Zulhamka Julianto Kadir, mahasiswa arsitektur perlu mengenal tentang ruang publik yang mudah diakses oleh penyandang disabilitas dengan berbagai ragamnya.
Baca Juga
“Banyak yang harus diperhatikan dan mahasiswa arsitektur ini adalah generasi muda yang menentukan arah pembangunan ke depannya untuk lebih ramah disabilitas lagi, lebih inklusif lagi saat mendesain dan sebagainya,” kata pria yang akrab disapa Anto kepada Disabilitas Liputan6.com melalui pesan suara Senin, 4 Desember 2023.
Advertisement
Pria penyandang disabilitas daksa itu menambahkan, dalam proses pembangunan fasilitas publik, para arsitek perlu melibatkan penyandang disabilitas. Tujuannya agar hasil pembangunan sesuai dengan kebutuhan disabilitas.
“Pelibatan disabilitas atau organisasi disabilitas supaya tidak salah dalam menentukan atau merancang sebuah bangunan atau ruang publik. Karena setiap disabilitas itu beragam, kebutuhannya pub berbeda-beda.”
Maka dari itu, saat diundang ke Festival Arsitektur Parahyangan 2023 Anto menyampaikan perlunya menerapkan konsep universal design.
Konsep Universal Design
Di hadapan mahasiswa arsitektur Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung, Anto menjelaskan soal konsep universal design.
Menurut pengguna kursi roda itu, konsep universal design adalah acuan untuk merancang fasilitas publik yang ramah disabilitas. Konsep ini mengacu pada enam poin penting yakni:
- Kemudahan
- Keamanan
- Fungsi dan kegunaan
- Keselamatan
- Kenyamanan
- Kemandirian.
Dengan konsep ini, penyandang disabilitas dapat menggunakan sebuah fasilitas dengan mudah, aman, nyaman, dan mandiri tanpa perlu bantuan orang lain. Di sisi lain, kegunaan atau fungsinya pun tetap baik bagi semua pengguna.
Hal ini diatur dalam UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas bagian 11 soal Infrastruktur Pasal 97. Dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PMPUPR) No.14/PRT/M/2017 Tentang Persyaratan Kemudahan Bangunan dan Gedung.
Advertisement
Jangan Cuma Mengedepankan Nilai Estetika
Anto menambahkan, saat ini banyak pembangunan gedung dan fasilitas publik yang hanya memandang nilai estetika ketimbang enam poin di atas.
“Jadi harus memerhatikan keamanan, kenyamanan, fungsi, saat ini kan hanya memandang estetika saja tanpa melihat fungsi. Jangan selalu mengedepankan estetik, tapi fungsinya pun harus dilihat juga karena kalau hanya sekadar estetika tapi tidak fungsional itu sama artinya tidak akan bisa terjamah oleh semuanya.”
Para arsitek juga perlu menanamkan slogan “no one left behind” atau “tak ada seorang pun yang tertinggal” agar karyanya dapat dinikmati semua orang.
Universal Design Tak Hanya Berguna untuk Penyandang Disabilitas
Ketika arsitek menerapkan konsep universal design, lanjut Anto, maka manfaatnya tidak hanya akan dirasakan oleh penyandang disabilitas. Tapi juga masyarakat lain yang membutuhkan.
“Ketika sudah memahami konsep universal design dan memahami kebutuhan disabilitas, itu nantinya akan berfungsi dan bisa diakses oleh lanjut usia (lansia) dan orangtua yang membawa kereta bayi atau stroller.”
“Contoh, orangtua membawa anaknya pakai kereta dorong, ketika suatu bangunan atau ruang publik hanya menyediakan tangga, itu akan menyulitkan bagi orangtua tersebut. Tapi kalau sudah menerapkan konsep ramah disabilitas, maka masyarakat umum pun akan terbantu.”
Sebaliknya, kata Anto, jika suatu bangunan hanya menerapkan kebutuhan orang umum, maka penyandang disabilitas tidak akan merasakan manfaat yang sama.
Advertisement