Liputan6.com, Jakarta Pasangan calon presiden (Capres) nomor urut 3 Ganjar Pranowo dan Mahfud MD menggunakan bahasa isyarat saat memasuki panggung debat kelima.
Ketika dipanggil ke atas panggung, Ganjar dan Mahfud membentuk huruf isyarat “S” dan “T” yang diduga kuat merujuk pada “Sat Set” dan “Tas Tes” yang tak lain adalah slogan pasangan Capres ini.
Selain membentuk kedua huruf tersebut, keduanya juga menunjukkan tanda metal yang merujuk pada berbagai arti yakni:
Advertisement
Pertama, ini melambangkan nomor urut mereka yakni nomor urut 3.
Kedua, dalam bahasa isyarat simbol tangan tersebut merujuk pada kata “I Love You.”
Keduanya pun mengenakan jaket bernuansa hitam putih dilengkapi dengan tulisan “TasTes” di bagian belakang dan dada. Sementara di bagian lengan ada tulisan program mereka yakni “internet gratis” dan nomor “3” yang besar dengan warna pink di bagian punggung.
Sementara, pasangan nomor urut 1, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar mengenakan setelan jas yang terkesan rapi dan formal. Di sisi lain, pasangan nomor urut 2 mengenakan kemeja biru muda dan jaket dengan perpaduan warna putih dan biru telor asin.
Dalam debat kelima kali ini, para Capres akan membicarakan topik kesehatan.
Harapan di Debat Capres Kelima
Sebelumnya, dalam menyambut debat capres kelima malam ini, berbagai pihak sudah menyampaikan harapan. Mulai dari sisi penyakit seperti tuberkulosis, penyebab penyakit seperti konsumsi rokok, hingga isu-isu yang dinilai tak banyak dibicarakan seperti penyakit langka (rare disorder) dan penyakit tropis yang terlupakan (NTD).
Dari banyaknya isu kesehatan yang ada, Epidemiolog Dicky budiman menyoroti tentang penyakit tropis yang terabaikan atau neglected tropical diseases (NTD). Dia ingin agar hal ini mendapat perhatian dari para calon pemimpin Indonesia.
“Ini (NTD) harusnya disinggung oleh calon presiden atau calon pemimpin masa depan. Kuncinya tentu ada di komitmen pemimpin, baik pemimpin negeri maupun pemimpin di kesehatan yang harus tahu masalahnya. Sehingga dia tahu mana yang harus diselesaikan dan harus jadi prioritas,” kata Dicky kepada Health Liputan6.com melalui pesan suara, ditulis Jumat 2 Februari 2024.
NTD perlu dibahas lantaran jika penyakit-penyakit itu terus diabaikan, maka Indonesia akan menjadi negara terbelakang dalam aspek kesehatan.
“Ini harus didorong terutama di masa kampanye seperti ini,” ujar Dicky.
Advertisement
Harap Capres Atasi Soal Tuberkulosis
Dalam kesempatan lain, dokter spesialis paru Erlina Burhan meminta agar siapapun yang menjadi presiden dapat memerhatikan masalah-masalah TB di Indonesia.
“Saya ingin tuberkulosis ini akan menjadi perhatian khusus siapapun di antara kalian yang nantinya ditakdirkan dan dipercaya oleh rakyat Indonesia untuk memimpin. Mohon tuberkulosis diperhatikan dan dilakukan semua effort untuk kita bisa mencapai eliminasi di 2030,” kata Erlina dalam dialog bertajuk “Estafet Akhir Menuju Eliminasi TBC 2030” di Jakarta, Rabu, 31 Januari 2024.
Ahli TBC itu menggarisbawahi, tuberkulosis bukan hanya masalah medis. Berdasarkan pengalamannya menjadi dokter selama lebih dari 30 tahun, masalah medis yang timbul akibat TB hanyalah sedikit.
“Masalah medis dari tuberkulosis ini hanya sedikit, 30 persen, paling banyak 40 persen. 60 persennya adalah non medis. Ada masalah diskriminasi dan masalah sosial.”
Harapan Indonesia Rare Disorder
Para calon presiden (Capres) atau pemimpin di masa depan juga hendaknya memerhatikan anak-anak dengan penyakit atau kelainan langka (rare disorder).
Harapan ini disampaikan oleh perwakilan dari Komunitas Indonesia Rare Disorder (IRD) Eka Fetranika.
“Saya berharap pemerintah yang akan datang benar-benar punya perhatian terhadap penyakit kelainan langka. Mereka mengakui bahwa kelainan langka itu ada dan mereka juga menyiapkan standar atau SOP bagaimana tatalaksana menangani anak-anak dengan kondisi kelainan langka,” kata Eka kepada Disabilitas Liputan6.com saat ditemui di acara ArticuRare, Jakarta Selatan, Minggu (4/2/2024).
Ibu dari anak dengan kelainan langka ini juga memberi contoh upaya yang dapat dilakukan pemerintah di masa mendatang untuk anak-anak dengan kelainan langka dan keluarganya.
“Misalnya, ada deteksi dini dari hamil. Sebenarnya beberapa jenis kelainan langka sudah bisa dideteksi sejak hamil. Dari pemeriksaan orangtua misalnya yang sudah punya anak dengan kelainan langka, dimulai dari situ. Bisa juga pada anak yang baru lahir yang diduga memiliki kelainan langka juga perlu diberi tes genetik gratis,” harap Eka.
Wanita berusia 46 itu menambahkan, tenaga medis juga perlu dipersiapkan untuk mengenal dan memahami tentang kelainan langka.
Advertisement