Liputan6.com, Kabul - Bertahun-tahun, Taliban melarang musik bergema di seluruh Afghanistan. Tidak hanya itu, mereka melarang perempuan untuk sekolah. Meskipun dilarang, mereka diam-diam mempelajarinya.
Kabul, berisik dengan suara helikopter, sirene dan suara kendaraan lainnya. Namun, di sebuah tikungan, tampak bangunan putih menjulang. Ketika memasuki gedung itu, suara berbeda bisa terdengar.
Baca Juga
Anak-anak laki-laki dan perempuan sedang asik memainkan berbagai alat musik. Ada yang sedang main piano, celo, flute dan alat musik tradisonal Afghanistan: sitar, rubab dan sarod.
Advertisement
Gedung itu adalah Nasional Institute Musik Afghanistan. Satu-satunya sekolah musik di negara itu.
Murid perempuan baru saja menyelesaikan 'konser' mereka, lalu diikuti dengan murid pria.
Yang menarik adalah, berdiri memimpin mini konser, adalah seorang remaja putri. Namanya, Negin Khpolwak.
Sehabis memimpin konsernya, ia pergi ke sebuah ruangan berisi piano. Di situ jemarinya menekan tuts memainkan lagu favorit gadis berusia 17 tahun itu: Piano Sonatina in C mayor yang digubah oleh komposer Italia, Muzio Clementi.
"Khosh Amadeed- Selamat datang," kata Negin malu-malu kepada BBC Magazine, Selasa (11/10/2015)
"Hari ini tanganku agak sakit, jadi main pianonya jelek. Tapi aku sering berlatih," ujarnya.
"Yang aku mau hanya ingin jadi pemain piano yang baik dan konduktor musik. Tidak cuma di Afghanistan, tapi seluruh dunia," ucap Negin.
Tak disangka, Negin bukanlah anak dari keluarga pemusik. Ia juga datang dari keluarga miskin. Tapi keinginan kuat untuk mempelajari nada dan melodi sudah tertanam dari kecil.
Terlebih, ia berasal dari provinsi Kunar, salah satu daerah paling konservatif yang dikuasai Taliban.
"Anak perempuan di Kunar tidak bisa ke sekolah. Apalagi bermain musik. Jadi, aku pergi ke Kabul bersama ayahku," kenang Nigen.
Pada 2010, Bank Dunia membantu membangun institut musik tersebut. Mereka mendatangkan banyak guru musik dari Afghanistan, Amerika Serikat, Australia, Rusia, Kolombia dan India. Institut itu fokus pada murid berbakat namun miskin.
Ayah.. Sang Pendukung dan Perjalanan ke New York
Ketika Nagin berusia 9 tahun, ayahnya mengirimkan bocah belia itu untuk tinggal di salah satu rumah penampungan anak-anak di Kabul agar ia mendapatkan pendidikan yang ia mau.
Saat itulah dia pertama kali mendengarkan musik dan menonton pertunjukan di TV.
Lalu, dia ikut audisi di sekolah musik tersebut untuk belajar selama 4 tahun. Lebih dari 200 murid diterima, dan seperempatnya adalah anak perempuan.
Kendati demikian, jalannya menuju cita-citanya tak semudah membalikkan telapak tangan. Sang ibu tidak setuju ia sekolah musik. Sekolah apapun tapi bukan musik.
"Paman bilang padaku, 'tidak ada satupun anak perempuan belajar musik. Jelas melanggar tradisi,'" ujarnya.
Mendapat tekanan dari keluarganya, Negin terpaksa meninggalkan institut itu selama 6 bulan. Untunglah sang ayah turut campur bilang kepada pamannya, "Ini kehidupan Negin. Dia boleh belajar musik kapanpun dia mau."
"Jadi, aku balik lagi ke sini," katanya lagi.
Ternyata, itu adalah kebiasaan sehari-hari di Kabul, kata Ahlad Sarmast, pendiri sekaligus direktur institut tersebut.
"Anak-anak datang ke sini dengan restu dari orangtuanya, tiba-tiba paman atau bibinya bahkan pemimpin desa menekan murid-murid atau keluarganya untuk mengeluarkan calon pemusik hebat dari sekolah ini," terang Sarmast.
Tidak hanya tradisi, tapi juga kekerasan. Karena masih banyak orang berpikir bahwa musik itu dosa.
Tahun lalu, saat audisi sedang berlangsung, seorang pengebom bunuh diri cilik meledakkan diri di tengah antrian audisi. Salah satu murid tewas, sementara Sarmast nyaris kehilangan pendengaran.
Kendati diserang, Sarmast tidak menyerah.
"Kami adalah bagian dari perjuangan juga. Kami melawan kekerasan dengan musik. Itulah mengapa kami mendidik mereka pentingnya hidup dalam kedamaian dan harmoni, daripada membunuh satu sama lain," kata Samrast.
"Sebagian dari inspirasiku adalah dia, dan murid macam dia, yang tetap yakin datang ke sini di tengah kesulitannya," tatap Samrast soal Nagin.
Pada Februari 2013, Negin terpilih sebagai wakil Afghanistan untuk pergi ke AS di mana dia memainkan musik tradisional sarod di Carnegie Hall di New York dan Kennedy Center di Washington DC.
"Itu adalah pengalaman yang menakjubkan. Aku merasa inilah tempatku, menjadi pemusik," ujar Nigen berbinar.
Setelah kembali ke Kabul, ia mulai tekun mempelajari piano dan kelas konduktor.
"Hari ini, adalah pengalaman pertamaku memimpin orkestra. Aku sangat bahagia. Aku tadi nangis ketika naik panggung melihat teman-temanku memegang alat musik. Membayangkan ada penonton di gedung orkestra," kata Nigen sambil berkaca-kaca.
"Aku ingin Afghanistan seperti negara lain di dunia.. di mana perempuan bisa jadi pianis dan konduktor... ingin sekali." (Rie/Ein)
Advertisement