Galaksi Bima Sakti Semakin Tak Terlihat?

Analisis awal terhadap data-data baru menunjukkan, bahwa sepertiga manusia sekarang tidak dapat melihat Bima Sakti di langit malam.

oleh Tanti Yulianingsih diperbarui 15 Jun 2016, 15:53 WIB
Diterbitkan 15 Jun 2016, 15:53 WIB
Galaksi Bima Sakti Semakin Tidak Terlihat
Galaksi Bima Sakti. (Dan Durlscoe)

Liputan6.com, Jakarta - Orang-orang Babilon mengira galaksi Bima Sakti adalah ekor Dewi Tiamat. Orang-orang Yunani Kuno meyakininya telah memberi Hercules kekuatan seperti dewa.

Namun baru pada tahun 1610, ketika Galileo menggunakan teleskop untuk melihatnya lebih dekat, diketahui bahwa Bima Sakti adalah gugusan bintang.

Kini para ilmuwan percaya bahwa penglihatan kita terhadap bintang-bintang itu, terhalang sumber-sumber cahaya buatan manusia yang menerangi langit.

Sebuah kelompok ilmuwan internasional baru-baru ini memperbarui World Atlas of Artificial Sky Brightness atau Atlas Dunia Kecemerlangan Langit Artifisial, yang mengukur jumlah cahaya buatan yang memantul di atmosfer kembali ke Bumi.

Analisis awal terhadap data-data baru menunjukkan, bahwa sepertiga manusia sekarang tidak dapat melihat Bima Sakti di langit malam.

"Kita sekarang memiliki dua generasi manusia yang hidup di wilayah-wilayah yang terhalang untuk melihat fitur-fitur astronomi," ujar ​Dr. Chris Elvidge, ilmuan fisik di Pusat Informasi Lingkungan Hidup Nasional dan anggota tim yang memperbarui atlas.

"Orang-orang tidak lagi dapat melihat pemandangan itu dan hubungan yang diberikan pemandangan itu terhadap alam semesta."

Langit yang semakin terang juga menghambat para astronom untuk mempelajari bintang, dan mempengaruhi kehidupan alam liar yang terganggu polusi cahaya.

"Setiap tahun, terus dilakukan penelitian dan ada jumlah spesies yang berbeda yang dipengaruhi oleh polusi cahaya yang terus tumbuh dan berkembang," kata Cheryl Ann Bishop, Direktur Komunikasi untuk Dark Sky Association International (IDA).

"Sebagai contoh: ngengat beterbangan di sekitar bola lampu seakan terjebak, merupakan kejadian yang cukup umum. Hal itu menunjukkan bagaimana lampu buatan dapat mempengaruhi ekosistem lokal," jelas Cheryl.

"Kelelawar memangsa ngengat, dan lampu buatan telah meredam naluri berburu mereka untuk makanan. Kelelawar menjadi tertarik terhadap cahaya, jauh dari habitat normal mereka, mengubah ekosistem lokal."

Masalah keamanan adalah penyebab utama peningkatan pencahayaan buatan, tetapi penelitian tentang efektivitas tidak meyakinkan. Manusia memiliki ketakutan naluriah atas sesuatu yang mengintai dalam gelap, dan itu salah satu tantangan terbesar ketika meyakinkan masyarakat untuk mengatasi polusi cahaya.

"Pencahayaan yang baik akan membuat Anda lebih aman, tapi bukan berarti harus menggunakan lebih banyak cahaya," jelas Cheryl. "Mata manusia dirancang untuk menerima cahaya tetapi menyesuaikan tingkat keterangannya, cahaya yang tak terlindung benar-benar membuat lebih sulit untuk melihat dalam gelap."

Untuk itu, para produsen lampu semakin sering diminta untuk menghasilkan produk-produk yang ramah langit malam, seperti untuk pencahayaan di perumahan atau lampu jalanan.

IDA menyetujui perangkat ini dan mempromosikan mereka kepada konsumen.

"Kami tidak anti-cahaya ... kami tidak akan mundur, tapi kami ingin memastikan hal itu dilakukan secara bertanggung jawab," kata Cheryl.

Para ilmuwan yang terlibat dalam penelitian ini berharap bahwa atlas baru tersebut akan membantu memberikan kesadaran kepada masalah ini --polusi cahaya. "Ada ... banyak hal-hal lain yang terjadi di dunia," tulis Dr Elvidge. "Ini benar-benar baik, kita menyadari hal itu (polusi cahaya) dan mungkin dari waktu ke waktu kita dapat memperbaiki situasi."

Bima Sakti mungkin memudar dari pandangan banyak manusia, namun ada sejumlah orang yang berupaya mengembalikannya bagi generasi masa depan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya