Tolak Pakai Kerudung, Capres Prancis Batal Bertemu Ulama Lebanon

Le Pen mengingatkan banyak orang pada sosok Donald Trump. Keduanya, penuh dengan pemikiran kontroversial.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 21 Feb 2017, 19:40 WIB
Diterbitkan 21 Feb 2017, 19:40 WIB
Marine Le Pen, pemimpin partai sayap kanan Perancis, Barisan Nasional (FN)
Marine Le Pen, pemimpin partai sayap kanan Perancis, Barisan Nasional (FN) (Reuters)

Liputan6.com, Paris - Pemimpin partai sayap kanan Prancis Front National, Marine Le Pen yang saat ini mencalonkan diri sebagai presiden memilih membatalkan pertemuan dengan seorang ulama Lebanon. Alasannya, ia menolak mengenakan penutup kepala.

"Anda dapat menyampaikan salam hormat saya kepada ulama besar, tapi saya tidak akan mengenakan busana tertutup," ujar Le Pen seperti dikutip dari Itv, Selasa, (21/2/2017).

Pihak ulama Lebanon sebelumnya telah menegaskan bahwa jika pertemuan tersebut hendak dilakukan maka Le Pen diharuskan memakai penutup kepala.

Kunjungan Le Pen ke Lebanon merupakan bagian dari kampanyenya. Semula, ia dijadwalkan akan bertemu dengan Sheikh Abdel-Latif Derian pada Selasa pagi waktu setempat.

Tak lama setelah ia tiba di kantor Sheikh Abdel-Latif Derian, salah seorang staf di sana memberi penutup kepala. Namun Le Pen menolak.

Le Pen membela diri bahwa sebelumnya ia pernah bertemu dengan Imam Besar Al-Azhar, Syekh Ahmed el-Tayyib tanpa mengenakan penutup kepala. Setelah diberitahu bahwa peraturan di Lebanon berbeda, politisi perempuan itu memutuskan berjalan menuju mobilnya dan pergi dari tempat itu.

Jajak pendapat menunjukkan bahwa Le Pen mungkin saja mendapat perolehan suara tertinggi di putaran pertama pilpres yang akan berlangsung pada April mendatang. Meski demikian berkembang spekulasi bahwa ia akan kalah dalam putaran kedua pada bulan Mei.

Belum lama ini, Le Pen yang merupakan putri dari pendiri Front National, Jean Marie Le Pen menggebrak kampanye pilpres Prancis dengan berjanji akan melindungi rakyat negara itu dari globalisasi. Ia juga menjanjikan "kebebasan".

Perempuan berusia 48 tahun itu optimis bahwa kebangkitan populisme di Barat akan sangat membantunya dalam meyakinkan warga untuk memilihnya.

"Kita diberitahu bahwa Donald Trump tidak akan pernah memenangkan pilpres AS, bertentangan dengan media, berlawanan dengan kemapanan, tapi dia menang. Kami diberitahu bahwa Marine Le Pen tidak akan menang dalam pilpres presiden, tapi pada 7 Mei dia akan menang!," tegas Jean-Lin Lacapelle, seorang petinggi Front National.

Le Pen mengingatkan banyak orang pada sosok Donald Trump. Keduanya, penuh dengan pemikiran kontroversial.

Dalam 144 "komitmen" yang dirilis saat kampanye dua hari di Lyon, Le Pen mengusulkan agar Prancis melaksanakan referendum untuk menentukan nasib keanggotaannya di Uni Eropa, menanggalkan mata uang euro, menetapkan pajak besar atas impor dan tenaga kerja asing, menyarankan penurunan batas usia pensiun, dan meningkatkan beberapa tunjangan kesejahteraan sambil menurunkan pajak penghasilan.

Politisi itu juga berkomitmen untuk memperketat aturan imigrasi dan membawa Prancis keluar Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).

"Tujuan dari program-program ini adalah agar Prancis mendapatkan kebebasannya kembali dan memberikan rakyat suara," terang Le Pen pada bagian pendahuluan manifestonya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya