Ini 8 Perang Paling Mematikan pada Abad ke-21

Ternyata, masa sesudah Perang Dingin malah diisi dengan terorisme, konflik etnis, perang sipil dan operasi kekerasan baru.

oleh Alexander Lumbantobing diperbarui 28 Feb 2017, 20:00 WIB
Diterbitkan 28 Feb 2017, 20:00 WIB
20170202- Kondisi Aleppo Timur Setelah Perang Berhenti-Ap photo
Kawasan Salaheddine porak poranda akibat perang yang melanda kawasan tersebut, Allepo Timur, Suriah (20/1). Pejabat-pejabar badan internasional mengatakan bahwa sekaranglah saatnya berbicara mengenai pembangunan kembali kota Aleppo. (AP/Hassan Ammar)

Liputan6.com, Jakarta - Francis Fukuyama, penggagas teori yang terkenal dengan ramalan bahwa akhir Perang Dingin akan menjadi "akhir sejarah" dengan kemenangan demokrasi Barat atas ideologi-ideologi lain.

Abad ke-21 diduga diisi dengan masyarakat yang telah melewati konflik dan bergerak menuju perdamaian serta kesejahteraan bersama. Tapi, teori itu terguncang oleh peristiwa 9/11.

Ternyata, masa sesudah Perang Dingin malah diisi dengan terorisme, konflik etnis, perang sipil dan operasi gabungan serta khusus yang menjadi cara kekerasan bukan negara, di dalam negara dan antar negara.

Dikutip dari Britannica pada Selasa (28/2/2017) berikut ini adalah 8 perang paling berdara pada Abad ke-21:

1. Perang Kongo II (1998 – 2003)

Kelompok pemberontak Kongo (Wikimedia)

Perang paling mematikan di Abad ke-21, Perang Kongo II, bermula dari konflik di Abad ke-20, termasuk genosida Rwanda, penggulingan dan kematian Presiden Mobutu Sese Seko dari Zaire, dan pertikaian etnis antara Hutu dan Tutsi.

Pada 1997, pemimpin pemberontak Laurent Kabila mendepak Mobutu dan mengganti nama Zaire menjadi Republik Demokratik Kongo (RDK). Perang saudara merebak di antara kelompok-kelompok yang sebelumnya menjadi pendukungnya.

Sepertiga kawasan timur negeri itu menjadi sangat berdarah, serupa dengan Front Barat semasa Perang Dunia I. Perang melibatkan tentara dari 9 negara ditambah dengan milisi-milisi.

Pasukan Angola, Namibia, Chad, Sudan, dan Zimbabwe membela pemerintahan Kabila. Sedangkan pasukan Burundi, Rwanda, dan Uganda membela pemberontak.

Pemerkosaan massal terjadi di kawasan-kawasan konfli dan sumber daya RDK dijarah habis-habisan. Ditaksir sekitar 3 juta orang yang kebanyakan warga sipil meninggal dunia dalam pertempuran maupun penyakit.

2. Perang Sipil Suriah

Para tentara Rusia berjalan di tengah bangunan yang rusak saat melakukan patroli dalam operasi APCs di Aleppo, Suriah. (Russian Defense Ministry Press Service photo via AP)

Ketika Musim Semi Arab (Arab Spring) merambah di Timur Tengah dan Afrika Utara, tumbanglah pemerintah otoriter di Tunisia, Libya, Mesir, dan Yemen. Tapi, di Suriah, Presiden Bashar al-Assad bertahan menggunakan kombinasi konsesi politik dengan kekejian terhadap rakyatnya.

Pemberontakan menjelama menjadi perang sipil yang menyebarkan kekerasan ke Irak sehingga menjadi lahan subuh bagi gerakan semacam ISIS. Kelompok-kelompok pemberontak merebut wilayah yang luas sehingga wilayah kekuasaan pemerintah hanya sebagian kecil saja di barat Suriah.

Assad menggunakan cara-cara yang semakin kalap dan bengis untuk mempertahankan kekuasaan, misalnya dengan bom-bom drum di kawasan perkotaan dan senjata kimia di kawasan kekuasaan pemberontak.

Ketika kekuatan di kawasan bersama dengan negara-negara Barat meningkatkan peran dalam konflik, sepertinya Assad akan terguling. Milisi Kurdi bergerak dari kawasan otonom di utara Irak. Pasukan Amerika Serikat melakukan serangan udara melawan pasukan ISIS di Irak maupun Suriah.

Pada 2015, Rusia, pendukung Assad sejak lama, mulai melakukan pemboman demi mendukung pasukan pemerintah Suriah sehingga membalik keadaan. Gencatan senjata gagal menghentikan peperangan.

Pada 2016, diperkirakan 1/10 penduduk Suriah meninggal atau cedera dalam pertikaian. Sekitar 4 juta orang mengungsi ke luar negeri dan jutaan lainnya terpencar di dalam negeri.

Setidaknya 470 ribu kematian disebut-sebut diakibatkan secara langsung maupun tidak langsung dengan peperangan. Angka harapan hidup sejak lahir anjlok dari setidaknya 70 tahun menjadi hanya 55 tahun pada 2015.

3. Konflik Darfur

DK PBB menuntut Pemerintah Sudan Selatan mencegah serangan lanjutan pada markasnya dan warga sipil di negara yang dilanda perang saudara itu

Pada 2003, kelompok-kelompok pemberontak angkat senjata melawan regim penguasa Sudan, Presiden Omar al-Bashir. Hal itu memicu ketegangan lama di kawasan Darfur di barat negeri. Konflik meletus menjadi genosida pertama di abad ke-21.

Setelah kelompok-kelompok pemberontak meraih beberapa kali kemenangan melawan militer Sudan, pemerintah mempersenjatai dan mendukung milisi-milisi Arab yang dikenal sebagai Janjaweed.

Milisi itu melakukan serangan terorisme terbidik dan pembersihan etnis populasi sipil Darfur sehingga menewaskan setidaknya 300 ribu orang dan mengusir 3 juta lainnya.

Baru pada 2008 pasukan penjaga perdamaian gabungan PBB dan Uni Afrika berhasil memulihkan sebagian keteraturan di kawasan. Pada 9 Maret 2009, Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) menerbitkan surat perintah penangkapan terhadap Bashir dengan sangkaan melakukan kejahatan perang dan kejahatan melawan kemanusiaan. Itu adalah pertama kalinya ICC menerbitkan surat demikian terhadap kepala negara yang masih menjabat.

Investigasi mandek pada Desember 2014 karena kurangnya kejasama dari Dewan Keamanan PBB.

4. Perang Irak

Pasukan Khusus Irak menembakan senjata artileri saat pertempuran dengan pasukan ISIS di selatan Mosul, Irak, Sabtu (29/10). Pasukan Khusus Irak terus menggempur ISIS yang menguasai kota Mosul. (REUTERS)

Segelintir orang dalam pemerintahan Presiden George W. Bush di Amerika Serikat berupaya menggulingkan Presiden Saddam Hussein sebelum kejadian 9/11, yang kemudian dijadikan alasan dimulainya Perang Irak.

AS kemudian mengkaitkan rejim Irak dengan al-Qaeda, demikian juga dengan keberadaan senjata pemusnah massal di Irak dan mengumpulkan koalisi mereka yang berniat untuk melancarkan serangan ke irak pada 20 Mare 2003. Belakangan, dua alasan itu ketahuan tidak betul.

Perang terbagi 2 dalam fase yang amat berbeda. Pertama adalah perang konvensioanl jangka pendek yang meminta nyawa 200 pasukan sekutu dalam operasi pertempuran selama sebulan, diikuti dengan perang utama dan pemberontakan tahunan yang merenggut puluhan ribu jiwa.

Saat pasukan tempur AS ditarik pada Agustus 2010, lebih dari 4700 pasukan sekutu tewas dan setidaknya 85 ribu warga sipil Irak terbunuh. Tapi sejumlah taksiran lain menyebutkan angka-angka yang lebih besar.

Kekerasan sectarian yang mencabik negeri itu sejak tergulingnya kekuasaan Partai Ba’th di bawah Hussein menjadi celah bangkitnya ISIS, suatu kelompok Sunni yang ingin mendirikan khilafah di Irak dan Suriah.

Antara 2013 dan akhir 2016, sekitar 50 ribu lagi warga sipil dibunuh oleh ISIS atau meninggal dalam pertempuran antara ISIS melawan tentara pemerintah Irak.

5. Perang Afghanistan

Taliban Pakistan ingin bergerak ke Kashmir

Hanya beberapa minggu setelah serangan 9/11, AS mulai melakukan serangan udara melawan rezim Taliban di Afghanistan. Kelompok ultrakonservaitf itu merebut kekuasaan saat vakum di Afghanistan setelah hengkangnya pasukan Uni Soviet.

Afghanistan kemudian menjadi tempat persembunyian nyaman bagi Al Qaeda dan pemimpinnya, Osama bin Laden. Perang itu sendiri menjadi pernyataan paling jelas akan “perang melawan terorisme” di bawah pimpinan AS. Pada Desember 2001, Afghanistan terusir dari kekuasaan, tapi Taliban Afghan dan Taliban Pakistan kembali bangkit di wilayah suku-suku seputar perbatasan dua negara.

Mereka meniru taktik yang dipakai para pemberontak di Irak dan mulai menggunakan peledak IED pada sasaran militer dan sipil hingga dengan dampak yang besar.

Taliban meningkatkan ladang opium di wilayah-wilayah kekuasaanya dan hasil perdagangan opium internasional mendanai kegiatan militer dan terorisnya. Antara 2001 dan 2016, sekitar 30 ribu tentara dan polisi Afghan tewas, ditambah lagi dengan 31 ribu warga sipil.

Lebih dari 3.500 tentara sekutu di bawah pimpinan NATO gugur. Korban tewas berasal dari 29 negara. Bukan hanya itu, sekitar 30 ribu tentara dan warga sipil Pakistan juga terbunuh oleh Taliban Pakistan.

6. Boko Haram

Militan Nigeria Boko Haram menyerbu sebuah desa terpencil di timur laut negeri itu.

Kelompok militan Boko Haram didirikan pada 2002 dengan tujuan menerapkan syariah di Nigeria. Secara relatif, kelompok itu tidak terdengar hingga 2009 ketika melakukan serangan yang menewaskan puluhan polisi.

Pemerintah Nigeria membalas dengan operasi militer yang menewaskan 700 anggota Boko Haram. Polisi dan militer Nigeria kemudian melakukan pembunuhan semena-mena yang menggeramkan Boko Haram yang tersisa.

Mulai 2010, Boko Haram menyerang balik dengan membunuhi polisi, mendobrak penjara-penjara, dan menyerang sasaran-sasaran sipil di seluruh Nigeria. Sekolah-sekolah dan gereja menjadi sasaran utama, apalagi penculikan 300 siswi yang mengundang kecaman internasional.

Boko Haram mulai meraih kekuasaan di lebih banyak wilayah, sehingga sifat pemberontakan berubah dari terorisme ke pemberontakan selayaknya perang sipil Nigeria karena hancurnya kota-kota yang diserbu Boko Haram. Pasukan dari Cameroon, Chad, Benin, dan Niger pun bergabung melakukan tanggapan militer.

Wilayah kekuasaan Boko Haram memang telah sangat tergerus pada akhir 2016, tapi kelompok itu masih mampu meluncurkan serangan-serangan bunuh diri yang mematikan banyak korban. Setidaknya 11 ribu warga sipil terbunuh oleh Boko Haram dan lebih dari 2 juta orang terusir dari tempat tinggal mereka.

7. Perang Sipil Yaman

Anggota Houthi baru berteriak saat akan menuju pertempuran melawan pasukan pemerintah Yaman di Sanaa, Selasa (3/1). (REUTERS / Khaled Abdullah)

Perang sipil Yaman berakar ke Musim Semi Arab dan pemberontakan yang mendepak pemerintahan Ali Abd Allah Saliḥ yang berupaya mempertahankan kekuasaan dengan memanggil pasukan dari daerah-daerah jauh ke ibukota, Sanaa.

Pemberontak Ḥuthi di utara negeri itu dan Al Qaeda Semenanjung Arabia (AQAP) di selatan bergegas memanfaatkan kekosongan kekuatan.

Pertikaian antara pasukan pemerintah dan milisi suku oposisi meningkat dan, pada 3 Juni 2011, Salih menjadi sasaran upaya pembunuhan yang menyebabkannya cedera berat.

Salih meninggalkan Yaman untuk mendapatkan perawatan sehingga kekuasaan beralih kepada wakilnya Abd Rabbuh Mansur Hadi.

Hadi gagal mempertahankan pemerintahan yang efektif di wilayah-wilayah kekuasaan Huthi dan AQAP, apalagi tanggapan kerasnya terhadap unjuk rasa di Sanaa mengundang simpati anti pemerintah.

Pada September 2014, pemberontak Huthi memasuki Sanaa dan pada Januari 2015 mereka telah menduduki istana presiden. Hadi dikenakan tahanan rumah, tapi berhasil kabur ke Aden di barat daya negeri itu.

Pasukan gabungan Huthi dan tentara yang setia kepada Saliḥ kemudian mengepung Aden hingga melarikan diri dari negeri itu pada Maret 2015. Bulan itu juga, konflik menjadi urusan internasional dan pasukan di bawah pimpinan Saudi Arabia bergerak mendepak kelompok Huthi dari kekuasaan dan memulihkan pemerintahan Hadi.

Ada dugaan kuat bahwa Iran memberikan dukungan materi kepada kelompok Huthi, apalagi ada beberapa pengapalan senjata dari Iran yang disergap dalam pelayaran ke daerah konflik.

Pada 201 6 PBB menyatakan bahwa sekitar 10 ribu orang terbunuh dalam pertempuran, termasuk hampir 4.000 warga sipil. Kebanyakan korban sipil akibat serangan udara koalisi. Selain itu, lebih dari 3 juta warga Yaman terpaksa menjadi pengungsi.

8. Konflilk Ukraina

Krisis Ukraina (BBC)

Pada November 2013, presiden Viktor Yanukovych yang pro Rusia membatalkan penggabungan dengan Uni Eropa yang telah lama ditunggu dan malah mendekat ke Rusia. Ibukota Ukraina pun dibanjiri unjuk rasa di jalan-jalan, bahkan hingga ada perkemahan menetap di alun-alun Maidan Nezalezhnost.

Pertikaian antara polisi dan pengunjuk rasa semakin panas sehingga, pada Februari 2014, pasukan pemerintah menembak ke arah pengunjuk rasa yang berakibat tewasnya beberapa orang, ditambah dengan ratusan orang cedera.

Yanukovych pun terdepak dari kekuasaan dan melarikan diri ke Rusia. Beberapa hari setelah ia kabur, pria-pria bersenjata yang kemudian ketahuan adalah tentara Rusia mulai menduduki bangunan-bangunan pemerintah di kawasan otonom Krimea.

Didukung tentara Rusia, partai pro-Rusia yang sebelumnya hanya sedikit di parlemen Krimea kemudian mengambil alih kekuasaan regional dan memutuskan lepas dari Ukraina.

Vladimir Putin mensahkan pendudukan ilegal itu pada Maret dan beberapa minggu kemudian, skenario serupa dijalankan di kawasan Donetsk dan Luhansk. Kremlin membantah campur tangan di Ukraina timur dan mengatakan bahwa tentara Rusia yang tertangkap dan terbunuh adalah "sukarelawan."

Sebelum awal musim panas 2014, pasukan pro-Rusia merambah ke wilayah yang lumayan luas dan, pada Juli, penerbangan Malaysia Airlines MH 17 ditembak jatuh di kawasan yang dikuasai pemberontak menggunakan rudal darat-ke-udara buatan Rusia.

Hampir 300 penumpang dan awak tewas, dan Moskow sibuk melakukan serangan propaganda untuk melempar tanggungjawab.

Pasukan Ukraina mendesak garis kelompok separatis selama musim panas, tapi pada Agustus 2014, front pro-Rusia dibuka di Mariupol di selatan. Gencatan senjata pada Februai 2015 tidak menghentikan pertumpahan darah dan kendaraan lapis baja serta senjata berat Rusia kerap terlihat di kalangan pasukan pemberontak.

Ukraina Timur bergabung dengan kawasan Transdniestria di Moldova dan Ossetia Selatan serta Abkhazia di Georgia yang adalah kawasan-kawasan konlfik beku dukungan Kremlin.

Hingga awal 2017, sekitara 10 ribu orang yang sebagian besar adalah warga sipil telah tewas sejak konflik dimulai.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya