Aksi WHO Lawan Diskriminasi pada Penderita TBC

WHO mengatakan, stigma dan diskriminasi terhadap penderita TB menghambat upaya untuk menghapus penyakit mematikan itu.

oleh Tanti Yulianingsih diperbarui 25 Mar 2017, 08:24 WIB
Diterbitkan 25 Mar 2017, 08:24 WIB
Direktur WHO program TB global, Mario Raviglione memberikan penjelasan di Jenewa, Swiss (Kamis 23/3). (VOA News)
Direktur WHO program TB global, Mario Raviglione memberikan penjelasan di Jenewa, Swiss (Kamis 23/3). (VOA News)

Liputan6.com, Jenewa - PBB membuat kemajuan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan untuk mengakhiri wabah Tuberkulosis (TB atau TBC) dunia pada tahun 2030. Organisasi Kesehatan Dunia, WHO melaporkan, 49 juta orang telah diselamatkan sejak tahun 2000.

Tapi, masih banyak yang harus dilakukan.

Data tahun 2015 menunjukkan, lebih dari 10,4 juta orang sakit sebanyak 1,8 juta di ataranya meninggal karena TBC. Sebagian besar kasus kematian terjadi di negara-negara sedang berkembang.

WHO mengatakan, stigma dan diskriminasi terhadap penderita TB menghambat upaya untuk menghapus penyakit mematikan itu.

Petugas medis program TB global WHO, Ernesto Jaramillo mengatakan, orang yang rentan seperti migran, narapidana, etnis minoritas, perempuan yang tersingkir dan anak-anak paling mungkin menderita pelecehan, pengabaian dan penolakan.

Dia mengatakan ini mencegah mereka mencari pengobatan untuk tuberkulosis.

"Memiliki alat-alat baru untuk diagnosa, dan perawatan TB tidak cukup jika tidak ada standar yang jelas untuk memastikan bahwa orang-orang yang rentan dapat menggunakan peralatan ini sedemikian rupa. Sehingga strategi TB benar-benar dapat melayani tidak hanya kepentingan individu, tetapi juga kepentingan kesehatan masyarakat pada umumnya," kata Jaramillo seperti dikutip dari VOA News, Sabtu (24/3/2017).

Direktur WHO program TB global, Mario Raviglione mengatakan tidak ada negara kaya ataupun miskin yang kebal terhadap TB. Ia memperingatkan, menyingkirkan pasien dengan infeksi tersebut justru berbahaya.

"Kita tidak dapat menghapus penyakit seperti TB dengan membangun dinding atau menutup negara kita. TB adalah penyakit yang ditularkan melalui udara," ujar Raviglione.

"Jadi, kalau ada pesawat Boeing 747 yang meninggalkan Malawi malam ini dan tiba di Swiss besok pagi, mungkin ada penderita TB di dalamnya. Masalah ini harus dihadapi dari perspektif global," imbuh Raviglione.

Panduan etika baru WHO ini mencakup tindakan-tindakan untuk mengatasi hambatan dari stigma, diskriminasi dan marjinalisasi penderita TB.

Badan tersebut mengatakan, melindungi hak asasi manusia orang-orang yang terkena TBC akan menyelamatkan banyak nyawa dan memungkinkan untuk mengakhiri penyakit yang menjadi momok dunia itu.

 

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya