Liputan6.com, Port Moresby - Lebih dari 100 pria di Papua Nugini ditangkap dan akan segera diadili. Mereka diperkarakan atas pembunuhan tujuh orang, termasuk dua bocah, yang dihabisi atas tuduhan mempraktikkan ilmu sihir.
Pada April 2014, para pelaku yang seluruhnya pria dilaporkan menyerbu desa tetangga, mencari orang-orang yang diduga memiliki ilmu sihir, membakar rumah-rumah, dan secara keji membunuh tujuh manusia.
Seperti dikutip dari Guardian, Selasa (28/3/2017), dua anak kecil, berusia tiga dan lima tahun, dilaporkan dirampas dari pelukan ibu mereka dan dibunuh dengan kejam.
Advertisement
Mantan kepala kepolisian Mandang, Sylvester Kalaut kepada The National mengatakan, kelompok main hakim sendiri yang diduga terdiri dari warga beberapa desa, termasuk para bocah yang usianya masih 10 tahun.
Sebanyak 122 pelaku didakwa atas kasus pembunuhan, 99 orang dilaporkan muncul di Pengadilan Madang pekan lalu. Sidang dijadwalkan akan digelar pada April mendatang.
Semua terdakwa tak ditahan. Mereka dibebaskan dengan jaminan.
Papua Nugini sudah lama menghadapi permasalahan pelik, maraknya pembunuhan atas dugaan guna-guna, sihir, dan supranatural -- yang dalam bahasa setempat disebut sebagai sanguma.
Sejumlah orang meyakini, ilmu sihir diyakini melekat pada orang, yang biasanya adalah perempuan.
Serangan terhadap orang yang dituduh sanguma terjadi setidaknya beberapa kali dalam setahun. Namun, jarang yang sampai ke pengadilan.
Pada bulan Oktober 2015, empat perempuan ditelanjangi dan disiksa oleh penduduk desa yang percaya klaim seorang pria yang mengatakan mereka mengambil jantungnya dan membunuhnya, sebelum meletakkan kembali. Korban 'sihir' pun mengaku kemudian bisa hidup lagi.
Salah satu perempuan yang disiksa meninggal dunia. Video empat wanita yang ditelanjangi, dibakar, dipukuli dan disiksa -- viral dan dibagikan antara Papua New Guinea, termasuk anak-anak sekolah.
Enam bulan sebelumnya seorang wanita bernama Mifila tewas diduga dibunuh, hanya beberapa bulan setelah korban diselamatkan dari aksi main hakim sendiri di sebuah desa.
Milifa dan tiga perempuan lainnya diselamatkan berkat intervensi oleh polisi, misionaris, dan aktivis. Mereka dituduh sebagai penyihir setelah beberapa warga desa meninggal akibat wabah campak.
Dalam kasus yang menyita perhatian publik pada 2013, Kepari Leniata (20) disiksa dan dibakar hidup-hidup setelah ia dituduh melakukan praktik ilmu sihir.
Tidak ada yang pernah dihukum atas kematian Leniata, namun pemerintah Papua Nugini mencabut UU Sihir 1971, yang dianggap memberikan perlindungan pada pelaku pembunuhan orang yang diduga sanguma.
Namun, aktivis hak asasi manusia menganggap dihidupkannya peluang hukuman mati untuk kejahatan tersebut sebagai langkah mundur.
Champa Patel, juru bicara Amnesty International mengatakan, sidang pengadilan adalah kesempatan untuk menegakkan keadilan, selama para terdakwa diperlakukan adil dan tanpa menghadapi ancaman hukuman mati.
"Sudah terlalu lama, pembunuh perempuan yang dituduh tukang sihir di Papua Nugini bebas dari hukuman," kata Patel.
Para perempuan yang dituduh penyihir, kata dia, sering menghadapi pemukulan, pembakaran dan bahkan eksekusi publik akibat kegagalan pihak berwenang melakukan penindakan.
"Persidangan kasus terbaru ini adalah kesempatan untuk memutuskan dengan tradisi impunitas," kata Patel. Terutama, terkait kasus main hakim sendiri pada mereka yang dituding penyihir di Papua Nugini.