Liputan6.com, Jakarta - Korea Utara diprediksi akan kembali melakukan tes uji coba misil nuklir yang ke-6 dalam waktu dekat, serta telah melaksanakan latihan artileri besar-besaran.
Amerika Serikat mendekatkan kapal dan kapal selam tempurnya ke perairan Korea. Sementara Korea Selatan dan Jepang dilaporkan melakukan latihan militer bersama dengan AS.
Ditambah lagi dengan figur pemimpin eksentrik seperti Kim Jong-un dan Donald Trump, serta rentetan pernyataan dari atase pemerintahan mereka yang menyatakan akan melakukan penyerangan.
Advertisement
Sejumlah peristiwa di atas nampak menjadi 'resep' utama perang di Semenanjung Korea, jika memang diprediksi akan terjadi.
Namun, benarkah edisi kedua Perang Korea yang sempat terjadi pada 1950-1953 dulu akan kembali terulang?
Berikut alasannya, yang Liputan6.com rangkum dari CNN, Rabu (26/4/2017):
1. Cukup Satu Letupan
Perang di Semenanjung Korea diprediksi akan terjadi.
Jika miskalkulasi atau kebodohan strategi politik dan militer dilakukan salah satu negara di sana, pengamat memprediksi perang akan segera pecah.
"Kini tinggal menunggu siapa yang akan melakukan kesalahan bodoh untuk pertama kali, karena kesalahan strategi akan mengakibatkan eskalasi tensi hingga tak terkendali," ujar Bruce Bennett, analis pertahanan asal AS.
Namun, durasi 'segera' yang dimaksud tidak akan terjadi dalam waktu cepat.
"Butuh waktu yang tak sebentar bagi AS untuk memobilisasi aset militernya hingga benar-benar mendekat ke Korea Utara... Dan merupakan sebuah pekerjaan besar bagi Kim Jong-un untuk menyiapkan misil dan artilerinya untuk disiagakan," ujar Carl Schuster, mantan direktur operasi Pusat Intelijen Gabungan Komando Pasifik Amerika Serikat.
Schuster menambahkan, jika benar-benar terjadi perang, Gedung Putih pasti akan mengumumkannya ke publik.
Advertisement
2. Faktor Trump
Adalah tipikal bagi seorang Donald Trump untuk membuat rumit dan tegang sebuah situasi politik. Kicauannya di Twitter-pun tak banyak membantu untuk de-eskalasi tensi di Semenanjung Korea.
Sesumbar seperti 'era kesabaran strategis telah usai' dan 'sejumlah opsi sedang disiapkan', kerap dilontarkan presiden AS ke-45 itu guna menanggapi Kim Jong-un.
Meski begitu, banyak 'strategi' Trump yang tidak akan berdampak ekstrem pada situasi di Korea. Desakan Trump agar China melakukan sanksi ekonomi nampaknya tidak akan membuat Korea Utara jera. Sudah jadi kebiasaan Pyongyang untuk terus menyimpang dari sejumlah sanksi yang diisukan negara lain.
"Itu hanya akan menambah semangat mereka (Korut) untuk berusaha tampil lebih kuat," kata Tong Zhao, peneliti Carnegie Tsinghua Center for Global Policy di Beijing.
Selain itu, sikap Trump yang tidak dapat diprediksi juga membuat situasi di Korea semakin ambigu.
"Kita benar-benar tak tahu karena kita tidak mengetahui apa yang sebenarnya akan dilakukan Trump," tambah Bruce Bennett.
3. Kemauan Kim Jong-un
Jelas bahwa prioritas utama yang diinginkan pemimpin tertinggi Korea Utara, Kim Jong-un adalah senjata nuklir. Tujuan kepemilikan senjata nuklir adalah untuk menjamin kebertahanan hidup Pyongyang di kancah perpolitikan dunia.
Pengamat menilai bahwa senjata nuklir merupakan satu-satunya strategi Kim untuk memberikan dampak penggentaran bagi AS, agar tidak seenaknya melakukan intervensi militer ke Korea Utara.
Dan, kepemilikan senjata pemusnah masal itu juga dapat dijadikan simbolisasi bahwa Korea Utara --yang kenyataannya merupakan negara dengan kapabilitas ekonomi setara Negara Dunia Ketiga-- mampu bersaing dengan negara nuklir seperti China, Rusia, dan AS.
"(Kami) memikirkan perdamaian, tapi kami tidak takut perang dan tak akan menghindarinya," jelas sebuah pernyataan dari kantor berita pemerintah Korea Utara.
Advertisement
4. Kekhawatiran Negara Tetangga
Sejauh ini Jepang dan Korea Selatan juga melakukan persiapan, khawatir akan pecah Perang Dunia III.
Pada bidang militer, kedua negara itu dilaporkan melakukan latihan militer gabungan dengan AS.
Tapi, keduanya itu lebih mengkhawatirkan dampak kerusakan sampingan yang diderita warga masing-masing negara, ketimbang harus terlibat dalam konflik terbuka antara AS-Korea Utara.
Sejumlah simulasi serta rancangan mekanisme evakuasi dan penyelematan diri telah disiapkan oleh Negeri Ginseng dan Negeri Sakura, guna mempersiapkan kemungkinan terburuk seperti jatuhnya misil di tanah air mereka.
Sementara itu, China lebih memilih bermain netral. Menghindari konflik besar merupakan tujuan utama Negeri Tirai Bambu. Tiongkok khawatir jika perang terjadi, kerugian dari segi ekonomi dan geo-politik-lah yang justru akan diderita Presiden Xi Jinping, seperti naiknya anggaran perang, membludaknya pengungsi Korea Utara ke China, serta semakin mendekatnya AS ke garis perbatasan Negeri Panda di Korea Utara.
Pengamat menilai, perang di Semenanjung Korea --meski akan berdampak brutal-- tidak akan menguntungkan bagi negara-negara yang terlibat di dalamnya.
Â
Â