Liputan6.com, Jakarta - Jujurlah, kita menyenangi miskonsepsi. Misalnya, internet penuh dengan artikel-artikel yang mengatakan bahwa fakta yang kita tahu sekarang ternyata salah.
Apalagi kalau bicara tentang sejarah. Ya, kadang-kadang kita memang memiliki pengertian yang salah tentang sejarah.
Advertisement
Baca Juga
Dikutip dari listverse.com pada Sabtu (19/8/2017), ada beberapa miskonsepsi sejarah yang bukan sekedar rekaan, ini lima di antaranya:
1. Kaisar Nero
Jika kita mencari di dunia maya tentang "miskonsepsi sejarah," maka akan muncul beberapa tulisan yang menyebutkan Kaisar Nero tidak memainkan alat musik serupa biola ketika Roma sedang terbakar.
Kebanyakan artikelnya mengatakan, "Kisah alat musik itu hanya rekaan. Bagaimana caranya main biola kalau biolanya tidak ada?"
Mungkin kita sepakat dengan itu, tapi tidak mengerti bahwa kalimat itu hanyalah perumpamaan.
Masing-masing ahli sejarah Romawi Kuno menuturkan peristiwa Kebakaran Besar Roma secara berbeda, tapi tidak ada yang menggambarkan Kaisar Nero sebagai seorang yang hebat.
Cassius Dio dan Suetonius sama-sama mengatakan bahwa Kaisar Nero lah yang memulai kebakaran dan tidak banyak membantu warga sesudahnya. Hanya Tacitus yang mengatakan Kaisar Nero ikut sedikit membantu.
Namun begitu, Tacitus pun mengatakan ada banyak versi berbeda tentang kisah itu dan "setiap versi memiliki pendukung masing-masing."
Kita tidak mengetahui dengan pasti apa yang dilakukan Kaisar Nero ketika Roma terbakar. Yang kita tahu, semua orang membencinya setelah peristiwa itu.
Jadi kemungkinan besar Kaisar Nero tidak menangani kebakaran itu dengan baik.
Advertisement
2. Bangsa Spartan Membunuhi Bayi-Bayi Cacat
Penulis Yunani bernama Plutarch menceritakan kepada kita bahwa seorang bayi bangsa Spartan dihadapkan kepada seorang tetua yang memutuskan apakah bayi itu boleh hidup atau dilempar ke dalam sumur sampai mati.
Selama beberapa abad, kita menerima hal itu sebagai kebenaran hingga suatu saat ada sekelompok ahli arkeologi memeriksa sumur yang dimaksud dan tidak mendapati adanya bekas-bekas peninggalan jasad-jasad bayi.
Plutarch diduga mereka-reka propaganda agar bangsa Spartan terlihat jahat. Jika para ahli arkeologi memang benar, maka Plutarch adalah seorang pelaku propaganda yang paling payah dalam sejarah.
Ia menuliskan tentang bangsa Spartan yang membunuhi bayi dalam bagian tulisan berjudul "Keunggulan Pendidikan dan Adat Pernikahan Bangsa Spartan."
Isi tulisan seakan menganggap pembasmian bayi-bayi sebagai hal yang bagus.
Sebenarnya, warga Athena juga melakukan hal yang tepat sama dengan apa yang mereka tuduhkan kepada bangsa Spartan.
Bersamaan dengan dugaan kritik Plutarch terhadap bangsa Spartan yang membunuhi bayi, seorang dokter kelahiran Yunani menuliskan makalah berjudul "Bagaimana Cara Mengenali Bayi Baru Lahir yang Pantas Dibesarkan."
Makalah itu menganjurkan agar para orangtua membuang bayi-bayi tak diinginkan hingga meninggal.
Memang benar bahwa bayi-bayi itu tidak ada di tempat pembuangan yang disebutkan oleh Plutarch. Berarti, ia sekadar salah menceritakan.
Atau bisa juga karena 2000 tahun berlalu sejak Plutarch menuliskan tentang hal itu. Tapi, satu hal yang jelas adalah bahwa ia tidak ada alasan apapun untuk mengarang-ngarang cerita tersebut.
3. Firaun Dimakamkan Bersama Para Hamba
Menurut beberapa artikel miskonsepsi yang mengejutkan, para Firaun tidak benar-benar dimakamkan bersama para pelayannya. Disebutkan bahwa bangsa Mesir Kuno tak membunuh para pelayan untuk dibawa ke alam baka oleh sang penguasa yang wafat.
Firaun memang wafat sendirian, tapi sejumlah temuan membuktikan bahwa para pelayan memang 'dibawa' bersama tuannya.
Para ahli arkeologi telah menemukan jasad 41 orang yang dikuburkan bersama Firaun Aha. Beberapa di antaranya adalah anak-anak dan mereka tidak mati karena sebab-sebab alamiah. Mereka terlihat mati karena tercekik.
Djer, penerus Aha, malah 'membawa' 300 orang untuk dikuburkan bersamanya.
Beberapa artikel menyebutkan bahwa kita hanya mampu membuktikan praktik itu dilakukan hanya oleh para firaun dari dinasti pertama.
Memang benar, tapi dalam 3000 tahun tentu saja budaya Mesir Kuno telah berubah.
Saksikan juga video menarik berikut ini:
Advertisement
4. Pythagoras Mungkin Tidak Ada
Menurut beberapa orang, sang ahli matematika Yunani Kuno bernama Pythagoras mungkin saja tidak pernah ada.
Satu-satunya catatan tentang orang pintar itu hanya berasl dari para pengikutnya dan tidak ada satupun kalimat yang dituliskan oleh Pythagoras sendiri.
Memang benar, tapi kenyataan itu juga terjadi pada hampir semua orang yang hidup pada Abad ke-6 SM.
Satu-satunya catatan yang ada sekarang tentang Socrates dan Confusius, misalnya, berasal dari para pengikut mereka. Kalau begitu, dengan logika yang sama, kita bisa mengatakan bahwa mereka berdua tidak ada.
Anggapan bahwa Pythagoras tidak pernah ada merupakan hal yang ganjil. Tapi, dalam dunia akademik, tidak banyak debat ilmiah tentang keberadaan tokoh itu.
Ada yang mempertanyakan apakah ia memang benar-benar melakukan semua yang disebut-sebut telah dilakukannya.
Walaupun begitu, tidak ada alasan untuk mempercayai adanya sekelompok orang yang pura-pura menjadi penggemar setia si ahli matematika, yaitu para pengikutnya.
5. Praktik Kanibal Bangsa Aztec Bukan karena Kurang Protein
Sudah cukup lama kita menerima bahwa tumbal manusia dan praktik kanibalisme bangsa Aztec sebagai hal yang cukup menyimpang hingga kemudian Michael Harner mengeluarkan pendapatnya.
Ia menjelaskan bahwa bangsa Aztec disalahmengerti. Menurutnya, bangsa Aztec kekurangan protein dan melakukan kanibalisme hanya untuk bertahan hidup.
Hal itu memang mengubah cara pandang kita terdahap bangsa Aztec, tapi itu tidak benar.
Ternyata, bangsa Aztec sebenarnya memiliki ketersediaan beragam jenis pangan dan mereka sama sekali tidak kekurangan protein.
Bangsa Aztec biasanya menyantap manusia justru ketika panen sedang amat melimpah. Lagipula, biasanya hanya kaum elite saja yang boleh makan daging manusia. Padahal mereka memiliki akses lebih baik kepada protein dibandingkan dengan masyarakat umum.
Mungkin memang lebih nyaman kalau alasan bangsa Aztec masuk dalam nalar kita, tapi mereka melakukan ritual tumbal semata-mata untuk persembahan kepada dewa-dewa.
Advertisement