China Buka Keran Impor Daging Sintetis dari Israel

Bagi kelompok lingkungan dan penyayang binatang, daging sintetis dipandang sebagai langkah positif untuk menghindari pembantaian hewan.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 17 Sep 2017, 15:05 WIB
Diterbitkan 17 Sep 2017, 15:05 WIB
Daging Sapi Mentah
Ilustrasi Foto Daging Sapi (iStockphoto)

Liputan6.com, Beijing - China telah menandatangani kesepakatan senilai US$ 300 juta untuk membeli daging sintetis dari Israel. Hal ini dinilai membuka pintu bagi produsen makanan vegan untuk "bermain" di pasar China, negara berpenduduk terpadat di dunia.

Daging sintetis dikembangkan di laboratorium dengan menggunakan sel binatang. Konsep ini ditentang sejumlah vegan. Namun, beberapa kelompok HAM dan lingkungan menyebutnya sebagai pengembangan yang menarik.

Bruce Friedrich, Kepala dari Good Food Institute (GFI), sebuah organisasi yang mempromosikan alternatif daging memuji kesepakatan tersebut sebagai "peluang pasar kolosal". Ia yakin perjanjian tersebut akan membuat China mengarahkan miliaran dolar ke dalam teknologi ini. Demikian seperti dikutip dari Independent pada Minggu (17/9/2017).

Meski menggunakan sel hewan, daging sintetis tidak sepenuhnya bebas dari pembunuhan hewan. Para ilmuwan saat ini tengah mengembangkan pengganti yang benar-benar sintetis.

Bagi banyak kelompok lingkungan dan penyayang binatang, daging sintetis dipandang sebagai langkah positif untuk menghindari pembantaian hewan. Ini juga dianggap sebagai pilihan yang lebih ramah lingkungan dibanding pertanian pabrikan.

China pada dasarnya tidak dianggap sebagai pemimpin dunia dalam persoalan lingkungan. Oleh karena itu, kesepakatan Beijing dengan tiga perusahaan Israel, SuperMeat, Future Meat Technologies, dan Meat the Future disambut sebagai penanda bahwa Tiongkok berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

Tiongkok saat ini mengimpor sekitar 10 miliar euro daging setiap tahunnya untuk memenuhi kebutuhan lebih dari 1,4 miliar warganya.

Pemerintah China sendiri telah mencetuskan sebuah rencana untuk mengurangi konsumsi daging warganya sebesar 50 persen. Oleh pemerhati iklim, langkah ini dianggap sebagai cara untuk mengurangi pemanasan global.

Diperkirakan, 14,5 persen emisi pemanasan global di Bumi berasal dari pemelihara dan pemakan ternak -- lebih banyak dari yang dihasilkan sektor transportasi.

Ternak mengeluarkan metana yang termasuk gas rumah kaca. Sementara, pembukaan lahan dan pupuk melepaskan sejumlah besar karbon.

"Melalui perubahan gaya hidup seperti ini, diharapkan industri peternakan akan berubah dan emisi karbon akan berkurang," kata Li Junfeng, Direktur Jenderal Pusat Nasional untuk Strategi Perubahan Iklim dan Kerja Sama Internasional China.

Sebuah laporan baru-baru ini oleh para ilmuwan di Oxford Martin School menemukan bahwa adopsi vegetarisme yang meluas di seluruh dunia dapat menurunkan emisi gas rumah kaca hampir dua per tiga.

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya