Liputan6.com, Marrakesh - Sedikitnya 15 orang tewas terinjak dan lainnya luka-luka akibat insiden berebut bantuan makanan di Maroko.
Insiden tersebut terjadi di kota Sidi Boulaalam di Provinsi Essaouira. Adapun, bantuan pangan tersebut diberikan oleh badan amal swasta setempat.
Beberapa laporan menunjukkan 40 orang terluka dalam peristiwa itu. Media lokal menyebut sebagian besar korban adalah perempuan dan orang lanjut usia.
Advertisement
Dikutip dari BBC pada Senin (20/11/2017), sejumlah gambar di media sosial menunjukkan tubuh wanita tergeletak di tanah.
Saksi mata mengatakan, distribusi bantuan makanan itu adalah program tahunan di Sidi Boulaalam. Ini adalah sebuah kota yang miskin dengan lebih dari 8.000 penduduk.
Biasanya pendistribusian itu berlangsung dengan tertib. Namun, tahun ini rupanya menarik kerumunan yang lebih besar dari biasanya.
"Tahun ini ada banyak orang, beberapa ratus orang," seorang saksi yang meminta kepada kantor berita AFP.
"Orang-orang mendorong, mereka menghancurkan penghalang," katanya, menambahkan bahwa yang terluka telah dievakuasi ke sebuah rumah sakit di Marrakesh.
Kementerian Dalam Negeri Maroko mengatakan bahwa Raja Muhammed VI telah menginstruksikan pihak berwenang setempat untuk membantu mereka yang terkena dampak, menambahkan bahwa dia secara pribadi akan menanggung semua biaya medis dan pemakaman.
Video yang tidak bisa diverifikasi memperlihatkan oleh sejumlah besar manusia telah berkerumum di pasar terbuka menanti distribusi makanan.
Hingga berita ini diturunkan, tidak jelas apa yang memicu penyerbuan tersebut.
Â
Gejolak di Maroko Belum Usai
Insiden itu menambah daftar gejolak di Maroko. Beberapa tahun lalu, ribuan warga di negara itu protes turun ke jalan akibat kematian seorang nelayan.Â
Mouhcine Fikri, nama korban, remuk di dalam truk sampah saat berusaha memungut ikan-ikan dagangannya yang disita polisi.
Kematian Fikri di kota Al-Hoceima pada Jumat 28 Oktober 2016 awalnya memicu kemarahan di sosial media. Nasib tragisnya mengingatkan pada kematian penjual buah asal Tunisia pada 2010 yang menjadi salah satu pemicu gelombang demokratisasi di Timur Tengah atau Arab Spring.
Raja Maroko, Mohamed telah memerintahkan para pejabatnya untuk mengunjungi rumah duka korban.
Sementara, Kementerian Dalam Negeri dan Keadilan juga berjanji akan melakukan investigasi terkait insiden tersebut.
"Tak ada satu pun yang berhak memperlakukan korban seperti itu," kata Menteri Dalam Negeri Mohamed Hassad. "Kita tidak bisa menerima perilaku aparat yang bertindak terburu-buru, marah, dan dalam kondisi yang tak menghormati hak-hak rakyat."
Sejumlah posting-an bernada kemarahan di media sosial Maroko menyebut kata 'Hogra' -- istilah yang mewakili pelanggaran dan ketidakadilan yang dilakukan aparat.
"Saya tak pernah melihat kerumunan orang seperti itu dalam beberapa tahun, setidaknya pada 2011," kata Houssin Lmrabet, aktivis di Kota Imzouren di mana protes pecah usai pemakaman Fikri, seperti dikutip dari BBC.Â
"Semua orang di sini merasa seakan diremukkan truk sampah."
Demonstrasi juga digelar di Al-Hoceima, Casablanca, dan di ibu kota Rabat.
Polisi merampas dan menghancurkan ikan todak (swordfish) milik korban. Alasannya, saat itu bukan jadwal menjala ikan-- demikian dikabarkan media Maroko.
Video yang menyebar di media sosial menunjukkan, Fikri melompat ke bagian belakang truk sampah untuk mengambil ikan-ikannya, sebelum tubuhnya kemudian dihancurkan oleh compactor yang berfungsi memadatkan sampah.
Insiden yang merenggut nyawa Fikri mengingatkan pada apa yang terjadi di Tunisia.
Pada 17 Desember 2010, seorang tukang sayur berusia 26 tahun, Mohamed Bouazizi nekat membakar diri karena barang dagangannya disita polisi. Ia mengadu pada aparat hingga gubernur, tetapi tak ada yang menggubris.
Sempat menjalani perawatan di rumah sakit, Bouazizi meninggal dunia pada 2 Januari 2011.
Bouazizi adalah wajah rakyat Tunisia yang menderita di negeri yang dilanda krisis pangan, lapangan kerja sulit, dan rakyat hidup dalam politik yang tak peduli pada kritik. Sementara, kaum elite hidup mewah.
Kisahnya membangkitkan kemarahan rakyat atas penguasa. Demonstrasi meledak, rakyat turun ke jalan menuntut Ben Ali turun.
Pada 14 Januari 2011, Ben Ali yang tak lagi dipercaya rakyat itu pun diam-diam kabur ke Arab Saudi bersama keluarganya. Revolusi kemudian menyebar ke Mesir, Libya, dan negara-negara di Jazirah Arab lainnya.
Advertisement