Liputan6.com, Los Angeles - Penyanyi terkenal, Rihanna, baru-baru ini memohon agar kekerasan senjata api di AS dihentikan. Permintaan itu ia sampaikan di Instagramnya sembari mem-posting kematian sepupunya akibat diterjang timah panas.
Sang penyanyi mem-posting fotonya bersama seorang pria muda yang dipercaya tewas dalam sebuah penembakan di Kota Barbados pada Boxing Day, atau 26 Desember 2017.
Advertisement
Baca Juga
Dikutip dari The Guardian, pada Kamis (28/12/2017), Rihanna mem-posting dalam instagram, "RIP sepupu... tak percaya baru kemarin malam aku merangkulmu! Tak percaya malam itu hari terakhir aku merasakan hangat tubuhmu! Cinta untukmu selamanya..." #endgunviolence.
Rihanna, lalu men-tag akun Instagram dengan username @merka-95 tapi tidak menyebut nama sepupunya. Unggahan tersebut telah menerima ratusan ribu komentar dukungan dan dukacita.
Sebuah stasiun berita lokal menyebut korban penembakan tersebut sebagai Tavon Kaiseen Alleyne yang berusia 21 tahun. Polisi telah melakukan investigasi dan mendesak siapa saja yang memiliki informasi tentang kejadian tersebut untuk menghubungi mereka.
Perwakilan Rihanna telah dihubungi, tapi belum ada komentar lebih lanjut.
Kekerasan Senjata Api di AS
Majalah investigasi Mother Jones dan Ted Miller, seorang ahli ekonomi dari Pasific Institute for Research and Evaluation, menghitung dampak kerugian dari penyalahgunaan senjata di Amerika Serikat.
Menurut hasil penelitian ini, 33 ribu orang Amerika Serikat terbunuh karena senjata api setiap tahunnya, sementara 80 ribu orang terluka.
Biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah AS akibat penyalahgunaan senjata api ini sebesar US$ 229 miliar per tahunnya. Angka ini hanya beda tipis dengan angka alokasi kesehatan mereka sebesar US$ 251 miliar per tahun.
Biaya terbesar dikeluarkan oleh negara bagian Wyoming, yaitu US$1.397 per kapita. Sementara negara bagian Hawai memegang rekor sebagai angka terendah yang dikeluarkan pemerintah untuk kasus penembakan, yaitu US$ 234, diikuti negara bagian Massachussetts. Dua negara bagian ini juga mempunyai kasus penembakan terendah dibanding negara-negara bagian lainnya.
Kasus-kasus penembakan itu mayoritas berupa penyalahgunaan senjata dan korban tewas 57% berasal dari kulit hitam. Pria kulit hitam AS 10 kali berisiko untuk ditembak dan mati daripada pria kulit putih. Sementara itu, perempuan kulit hitam berisiko 3 kali lebih besar untuk ditembak dan tewas dibanding perempuan kulit putih.
Sebanyak 93% kasus bunuh diri dengan senjata api berasal dari kalangan kulit putih. Pria kulit putih tiga kali berpotensi melakukan bunuh diri dibanding pria kulit hitam.
Sementara itu wanita berkulit putih 4 kali lebih berpotensi membunuh dirinya dibanding wanita berkulit hitam.
Angka lain yang dapat diinvestigasi adalah, 84-86% penyalahgunaan senjata, baik itu pelaku pembunuhan maupun bunuh diri dengan senjata api, dilakukan oleh pria.
Sebuah artikel dari Vox menuliskan angka dan statistik kekerasan dengan senjata api di Amerika Serikat. Dikatakan dalam artikel yang diterbitkan 26 Agustus 2015, di antara negara-negara maju lainnya, AS mengalami kekerasan terhadap pemakaian senjata lebih banyak dibanding negara maju lainnya.
AS mempunyai kasus pembunuhan dengan senjata 5 kali lebih besar dari Kanada dan 15 kali lebih banyak dari Jerman. Satu dari 4 orang AS memiliki senjata api. Hal ini seharusnya membuat Negeri Paman Sam berada dalam keadaan gawat darurat senjata api.
Menurut statistik, ada sekitar 885 kasus penembakan massal semenjak kasus Sandy Hook pada Desember 2012, Sejak saat itu, total kematian adalah 1.144 sementara 3.180 terluka.
Namun demikian, definisi penembakan massal masih diperdebatkan oleh kalangan pemerhati kasus ini.
Advertisement