Liputan6.com, Washington, DC - Di tengah ancaman rudal Korea Utara, pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengabarkan telah menyetujui dokumen rancangan penjualan misil antirudal balistik ke Jepang, pada Selasa, 9 Januari 2018.
Penjualan senilai US$ 133,3 juta (setara Rp 1,7 triliun) itu mencakup; 4 misil anti rudal balistik tipe Block II-A RIM-161 Standar Missile-3 (SM-3), 4 kanister misil MK-29, sejumlah suku cadang, dan peralatan pendukung lainnya, demikian seperti dikutip dari CNN, Kamis (11/1/2018).
Block II-A SM-3 adalah misil anti rudal balistik yang dapat digunakan pada sistem peluncur berbasis laut, Aegis Combat System yang terpasang di kapal tempur dan sistem peluncur berbasis darat, Aegis Ashore Program. Kata seorang pejabat Kementerian Luar Negeri AS.
Advertisement
Penjualan itu masih separuh jalan. Karena, dokumen rancangan penjualan itu masih menunggu persetujuan dari Kongres AS.
Kendati demikian, Gedung Putih telah memberikan notifikasi kepada The Capitol terkait penyetujuan dokumen rancangan penjualan tersebut pada Selasa 9 Januari 2018.
"Jika terealisasi, penjualan itu akan menaruh kontribusi besar pada kebijakan luar negeri dan kepentingan keamanan nasional Amerika Serikat," kata keterangan pers dari pejabat Kemlu AS.
"Termasuk, demi meningkatkan kapabilitas Angkatan Bersenjata Jepang dalam mempertahankan Jepang dan Pasifik Barat dari ancaman rudal balistik," lanjut sang pejabat Kemlu AS seraya menyinggung secara implisit terkait potensi ancaman rudal Korea Utara yang menjadi momok di kawasan.
Penjualan tersebut juga menjadi tindak lanjut komitmen Presiden Trump untuk memberikan kemampuan defensif tambahan kepada sekutu AS yang khawatir oleh tindakan provokatif dan potensi ancaman rudal Korea Utara, tambah sang pejabat.
Picu Ketidaksenangan Rusia
Rusia, yang telah mengetahui skema penjualan persenjataan antara AS - Jepang jauh sebelum dokumen itu disetujui, menyatakan ketidaksenangan-nya terhadap transaksi tersebut. Menurut Moskow, AS telah melanggar beberapa pakta internasional tentang pembatasan penjualan senjata.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova mengatakan, transaksi AS dengan Jepang merupakan bagian dari rencana besar Washington untuk membentuk sebuah skema "sistem anti-rudal global".
Zakharova juga mengklaim, transaksi itu telah melanggar pakta Intermediate-Range Nuclear Forces Treaty (INF) -- sebuah perjanjian kontrol senjata antara Moskow dan Washington yang telah berlaku selama 30 tahun.
"Dan kita melihat bahwa Jepang adalah kaki tangan dalam masalah tersebut," kata Zakharova.
Merespons tuduhan tersebut, AS mengatakan, "Kami mematuhi sepenuhnya Perjanjian INF, klaim Rusia sebaliknya salah dan dimaksudkan untuk mengalihkan perhatian dari pelanggaran yang dilakukan oleh Rusia," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri AS beberapa waktu lalu.
Advertisement
China Ikut Tak Suka
China, yang sangat menderita ketika Jepang menduduki wilayah tersebut selama Perang Dunia II, disebut tak senang dengan rencana pembelian peralatan militer yang dilakukan Tokyo. Kedua negara sejak lama berseteru dalam banyak isu, termasuk perselisihan terkait kepemilikan pulau tak berpenghuni.
Namun dalam isu nuklir Korea Utara, China juga menyuarakan penolakan. Para ahli percaya bahwa salah satu alasan utama Beijing menentang pengembangan senjata nuklir Pyongyang adalah kekhawatiran bahwa hal itu dapat memicu perlombaan senjata di kawasan.
Termasuk THAAD di Korea Selatan
Tiongkok juga menyuarakan penentangannya atas penempatan sistem anti-rudal Terminal High Altitude Area Defence (THAAD) di Korea Selatan yang disponsori Amerika Serikat. Ahli senjata percaya China khawatir cakupan THAAD meluas ke wilayahnya.
Penyebaran tersebut menghasilkan pembekuan selama sebulan dalam hubungan antara Seoul dan Beijing. Namun hubungan keduanya mencair pada Oktober.
Ancaman Korea Utara terhadap Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya telah kembali ke garis terdepan setelah Korea Utara melakukan uji coba rudal teranyar mereka, Hwasong-15, pada akhir November lalu.
Setelah peluncuran tersebut, penasihat keamanan nasional Gedung Putih HR McMaster mengatakan bahwa kemungkinan perang dengan Korea Utara meningkat dari hari ke hari.
Pekan ini, AS dan Korea Selatan melakukan latihan militer skala besar yang melibatkan ratusan pesawat terbang dan ribuan tentara. Korea Utara melihat latihan ini dengan permusuhan dan kekhawatiran bahwa mereka dapat berlatih untuk melakukan invasi potensial. Latihan minggu ini mengikuti latihan angkatan laut berskala besar di bulan November yang melibatkan tiga kapal induk Angkatan Laut AS.