Liputan6.com, Washington DC - Seorang akademisi, analis, dan pakar militer menyebut bahwa konflik bersenjata yang terjadi di Afrin, perbatasan Turki - Suriah, yang pecah beberapa pekan lalu mampu berpotensi menjadi penyebab Perang Dunia III.
Hal itu diutarakan oleh Robert Farley, asisten profesor di Patterson School of Diplomacy and International Commerce, University of Kentucky, Amerika Serikat dalam sebuah artikel yang ditulis dan dirilis di media AS The National Interest.
Farley juga mengatakan bahwa pergeseran orientasi diplomatik yang dilakukan oleh Turki mungkin akan memiliki efek riak yang berbahaya dan memicu Perang Dunia III. Demikian seperti dikutip dari media Turki Ahval (19/2/2018).
Advertisement
Baca Juga
Reorientasi itu terlihat dengan kecenderungan Turki untuk menjalin kerja sama dengan Rusia, yang ditunjukkan dengan langkah Ankara membeli rudal S-400 produksi Moskow.
Kedekatan Turki dengan Rusia, lanjut Farley, juga diprediksi mampu mengubah poros kekuatan dalam perselisihan Nagorno-Karabakh, sebuah wilayah di dekat perbatasan Turki sebelah timur yang diperselisihkan oleh Armenia dan Azerbaijan, serta semakin merenggangkan hubungan Ankara - Washington DC.
Tak hanya itu, Farley juga menulis bahwa merenggangnya hubungan Turki dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa selama beberapa tahun terakhir turut mampu memicu pergeseran keseimbangan kekuatan di kawasan. Lanjutnya.
"Turki adalah negara yang sangat penting dan posisi yang diambilnya mampu mempengaruhi hasil konflik di Suriah, Irak, Iran, Balkan, Kaukasus," tulis Farley.
"Perkembangan yang terjadi di kawasan bisa mempengaruhi bagaimana negara-negara Eropa selatan -- seperti Turki -- memikirkan komitmen mereka terhadap Pakta Aliansi Militer Atlantik Utara (NATO). Dan ketidakpastian dalam memperhitungkan perkembangan itu bisa menyebabkan Moskow dan Washington DC salah mengambil langkah," lanjut Farley.
Kendati demikian, sang asisten profesor mengatakan bahwa baik Turki, Rusia, dan Amerika Serikat sama-sama menganggap bahwa perang bukan cara yang masuk akal untuk menyelesaikan pergeseran orientasi diplomatik terbaru yang terjadi di kawasan.
Situasi di Suriah dan Timur Tengah
Farley juga menjelaskan lebih lanjut mengenai potensi kebermulaan Perang Dunia III di wilayah konflik menahun seperti di Timur Tengah dan Suriah.
Sang asisten profesor mengatakan bahwa, di pengujung Perang Saudara Suriah, konflik di kawasan kini berpusat pada bagaimana kebijakan luar negeri yang diambil oleh negara-negara poros kekuatan Timur Tengah, seperti Arab Saudi Cs dan Iran.
"Konflik di Timur Tengah hampir selalu mengandung benih konflik kekuasaan yang besar. Seiring perang saudara di Suriah telah terhuyung-huyung menuju kesimpulan, perhatian telah beralih ke konfrontasi antara Iran dan Arab Saudi," jelas Farley.
"Arab Saudi tampak sangat berniat untuk sewaktu-waktu menyalahkan Iran atas sejumlah situasi tegang di Timur Tengah, semisal seperti di Yaman. Di sisi lain, baik gayung bersambut, Iran pun memang tetap aktif memperluas pengaruhnya di Irak, Suriah, Yaman serta beberapa tempat lain di kawasan," lanjutnya.
Kegigihan Saudi untuk menahan laju pengaruh Iran di kawasan mungkin akan membuat mereka merangkul Israel yang juga merupakan seteru Negeri Para Mullah. Namun, langkah itu justru akan memperumit irisan tensi tinggi lain, seperti soal Yerusalem dan Palestina.
"Sementara Iran mungkin akan terus mendekat dan menempel dengan Rusia yang sama-sama berniat untuk memperkuat pengaruhnya di Suriah serta mengekspansi proxy ke wilayah lain. Dengan Rusia yang memperkuat posisinya di kawasan ini, sangat mudah untuk membayangkan konflik kekuatan besar," kata Farley.
Saksikan juga video pilihan berikut ini:
Advertisement