Human Rights Watch Sebut 15 Keluarga WNI Ditahan Pasukan Kurdi di Suriah

Human Rights Watch mengungkap, ada sekelompok warga negara Indonesia (WNI) dan Malaysia terafiliasi ISIS yang ditahan oleh pasukan Kurdi di Suriah.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 28 Feb 2018, 09:36 WIB
Diterbitkan 28 Feb 2018, 09:36 WIB
Gedung Pancasila
(Ilustrasi) Bendera Indonesia. Diduga ada sekitar 15 WNI yang ditahan di Suriah (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Liputan6.com, Damaskus - Petinggi organisasi hak asasi manusia internasional, Human Rights Watch (HRW), mengungkap bahwa ada sekelompok warga negara Indonesia atau WNI dan warga negara Malaysia terafiliasi ISIS yang ditahan oleh pasukan Kurdi di Suriah.

Nadim Houry, Direktur Program Terorisme dan Kontra-Terorisme, meyakini, mereka yang ditahan terdiri dari 15 keluarga WNI dan satu keluarga asal Malaysia.

"Saya tahu ada beberapa orang Indonesia, setidaknya 15 keluarga," kata Houry, seperti dikutip dari Free Malaysia Today (28/2/2018).

"Saya tidak paham apakah ada orang Malaysia, tapi ada yang memberi tahu saya bahwa terdapat satu keluarga," lanjutnya.

Banyak di antara mereka yang ditahan masih berstatus anak-anak dan kemungkinan sejumlah perempuan.

"Kebanyakan keluarga itu memiliki anak-anak. Saya tidak paham spesifiknya. Tapi kecurigaan saya, ya, ada anak-anak di antara mereka," tambahnya.

Meski begitu, Houry tidak menjelaskan apakah ada individu lain dari negara di Asia Tenggara yang turut ditahan, di samping para WNI dan warga Malaysia itu.

 

Saksikan juga video pilihan berikut ini:

Sekitar 800 Perempuan dan Anak-Anak

Ilustrasi wanita pengikut ISIS di Singapura. (AFP)
Ilustrasi perempuan pengikut ISIS (AFP)

Sementara itu, dalam sebuah komentar yang diutarakan Nadim Houry kepada surat kabar Jerman, Die Welt, awal bulan ini diketahui terdapat sekitar 800 perempuan asing beserta anak-anaknya yang diduga terafiliasi ISIS yang telah ditahan oleh pasukan Kurdi di Suriah Utara.

Ke-800 perempuan itu ditahan di empat kamp detensi terpisah yang dikendalikan oleh Kurdi Suriah.

"Mereka berasal dari 40 negara, ada dari Kanada, Prancis, Inggris, Tunisia, Yaman, Turki, Jerman, dan Australia," jelasnya.

Para perempuan itu diberikan secuil kebebasan untuk beraktivitas di dalam kamp detensi. Namun, mereka tidak diizinkan untuk keluar dari tempat tersebut.

Houry juga mengatakan bahwa beberapa perempuan itu mengaku telah mengalami tindak kekerasan dan pelecehan oleh para petugas kamp. Mereka juga hidup dalam kondisi sanitasi, kesehatan, dan gizi yang buruk.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya