Liputan6.com, Cambridge - Meninggalnya fisikawan sekaligus kosmolog jenius Stephen Hawking di usia 76 menyisakan duka yang mandalam bagi khalayak luas. Ia tidak hanya merevolusi pemahaman tentang bagaimana alam semesta tercipta, melainkan juga tentang konsep hidup abadi.
Ia mengatakan, kehidupan yang tidak fana dimungkinkan jika otak manusia berada dan mampu bekerja di luar tubuh. Maksudnya?
Berbicara dalam salah satu rilis film dokumenter tentang hidupnya, Hawking mengatakan, otak seperti program yang bisa disalin ke dalam komputer.
Advertisement
"Menurutku, otak seperti sebuah program dalam pikiran manusia, yang mirip komputer. Jadi, secara teoritis menyalin otak adalah komputer adalah mungkin. Hal itu akan menyediakan bentuk kehidupan setelah mati," kata dia seperti dimuat Cambridge News, 22 September 2013.
"Namun, ini jauh melampaui kemampuan kita sekarang. Saya pikir akhirat konvensional adalah dongeng untuk orang-orang takut gelap, " katanya seperti dikutip The Guardian.
Baca Juga
Dalam kalimat terakhir soal akhirat, lagi-lagi Stephen Hawking terang-terangan soal ketidakpercayaannya terhadap Tuhan.
Hawking sendiri pernah didiagnosis menderita penyakit neuron motorik pada usia 21 tahun, dan kala itu divonis hidupnya tinggal 2 atau 3 tahun lagi.
"Sepanjang hidupku aku menghadapi ancaman kematian dini. Jadi aku benci membuang-buang waktu," kata Hawking, dengan bantuan suara yang dihasilkan komputer yang ia kontrol dengan otot wajah dan kedipan dari satu matanya.
Film dokumenter terkait mengisahkan tentang masa kecil Hawking yang bermimpi menuntut ilmu di Universitas Oxford, namun justru berlabuh di Universitas Cambridge, dan memulai kejeniusannya dalam karier fisika dan kosmologi.
Saudara perempuannya, Mary, mengatakan bahwa Stephen Hawking adalah sosok yang kompetitif dan selalu ingin tahu tentang banyak hal.
Bagi Mary, kehidupan bersama Stephen Hawking adalah hal yang menarik, tapi kadang juga membuat frustasi.
"Buang-buang waktu berdebat dengan Stephen, dia selalu berhasil mengubah putaran argumen," katanya.
Simak video mengenai seorang gadis remaja yang memiliki IQ lebih tinggi dari Einstein dan Hawking berikut:
Penjelasan Ilmiah Terbaru tentang Kehidupan Abadi
Sementara itu, gabungan beberapa penelitian ilmiah terbaru mengatakan bahwa otak manusia adalah 'komputer biologis', di mana fungsinya serupa dengan perangkat komputer personal berdaya kuantum.
Hal itu menjadi dasar penelitian lanjutan yang menyebut bahwa jiwa manusia akan tetap abadi setelah jasadnya meninggal.
Namun, bukan abadi dalam pengertian yang dimiliki sejumlah keyakinan, melainkan kekal dalam bentuk energi yang mampu berhubungan dengan dimensi lain (multi universe), demikian dilansir dari situs Tetribe pada Senin, 12 Maret 2018.
Adalah seorang ahli fisika Dr Stuart Hameroff, dan ahli matematika Sir Roger Penrose, yang berargumen bahwa jiwa sejatinya tersimpan pada sebuah mikro-tubulus di dalam sel otak.
Keduanya menyebut sistem ini sebagai 'Pengurangan Tujuan Obyektifikasi', atau Orch-OR, yakni ketika jasad manusia meninggal, maka mikro-tubulus pada otak berubah menjadi partikel kuantum yang tetap membawa informasi di dalamnya.
Mikro-tubulus inilah yang kemudian disebut sebagai sifat abadi pada jiwa makhluk hidup. Tidak bisa dihancurkan, dan akan terus membawa informasi hingga menuju beragam dimensi yang lebih besar.
Ditambahkan oleh Dr Stuart, bahwa jiwa makhluk hidup sangat mungkin berupa hasil 'interaksi' antar neuron di otak.
Ia mengibaratkan interaksi neuron yang saling berkaitan itu serupa dengan sistem silang saling informasi pada server komputer, di mana inti memorinya dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya melalui transfer data.
Advertisement