Perubahan Iklim Berisiko Memicu Migrasi Ratusan Juta Penduduk Bumi

Ancaman perubahan iklim berisiko membuat ratusan juta orang bermigrasi dalam waktu berdekatan, yang di kemudian hari bisa memicu beragam masalah kompleks.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 21 Mar 2018, 20:20 WIB
Diterbitkan 21 Mar 2018, 20:20 WIB
Ilustrasi perubahan iklim
Ilustrasi perubahan iklim (AFP)

Liputan6.com, London - Puluhan juta orang di beberapa wilayah termiskin di dunia berisiko 'lenyap' dalam beberapa dekade mendatang akibat perubahan iklim, demikian peringatan Bank Dunia dalam sebuah laporan terbaru.

Dilansir dari CNN pada Rabu (21/3/2018), laporan yang berjudul 'Groundswell: Preparing for Internal Climate Migration' itu menunjukkan bahwa bahwa lebih dari 143 juta orang di Asia Selatan, Afrika Sub-Sahara dan Amerika Latin berisiko terkena dampak langsung perubahan iklim.

Kekeringan, gagal panen, dan naiknya air laut akibat peruabahn iklim bisa memaksa jutaan orang pindah ke tempat lain, yang berpotensi tidak siap untuk menerima masuknya orang-orang tambahan.

Laporan yang sama juga menunjukkan bahwa jenis migrasi ini akan naik hingga 2050 mendatang. Pengecualiannya adalah jika ada penurunan signifikan pada emisi gas rumah kaca.

Jumlah migrasi tersebut mencakup kemungkinan 86 juta imigran dari Afrika Sub-Sahara, 40 juta dari Asia Selatan dan 17 juta dari Amerika Latin. Ketiga wilayah itu disebut mewakili 55 persen dari total populasi di seluruh negara berkembang.

"Setiap hari, perubahan iklim menjadi ancaman ekonomi, sosial, dan eksistensial yang mendesak bagi negara dan masyarakat mereka," jelas pemimpin Bank Dunia, Kristalina Georgiva. 

"Semakin, kita melihat perubahan iklim menjadi mesin migrasi, memaksa individu, keluarga dan bahkan seluruh komunitas untuk mencari tempat untuk bertahan hidup," lanjutnya.

Laporan tersebut juga menyebut daerah-daerah paling miskin adalah wilayah yang paling rentan terkena dampak langsung perubahan iklim.

Adapun, wilayah-wilayah yang akan diserbu oleh gelombang migrasi besar-besaran ini, di antaranya adalah kota-kota di dataran rendah, kawasan pesisir, serta beberapa daerah lainnya yang memiliki sumber air dan pertanian berkapasitas tinggi.

Ketika wilayah-wilayah di atas dibanjiri oleh para migran akibat perubahan iklim, maka trennya akan berubah menjadi 'bencana titik temu', yang akan berdampak pada penurunan kualitas daya tampung.

"Banyak daerah perkotaan ... perlu mempersiapkan masuknya gelombang migrasi manusia, termasuk melalui perbaikan perumahan dan infrastruktur transportasi, layanan sosial, dan kesempatan kerja," tulis laporan tersebut.

Laporan ini memprediksi bahwa prediksi problematika titik temu akibat perubahan iklim ini akan muncul pada tahun 2030, dan kemungkinan bertambah banyak pada tahun 2050.

Selain mendesak pentingnya mengurangi emisi gas rumah kaca, laporan ini juga menunjukkan bahwa pemerintah, terutama di wilayah rentan bencana alam, perlu melipatgandakan perhatian isu migrasi ini sebagai bagian dari rencana pembangunan.

"Para pemimpin dunia perlu bersama mempelajari dan memahami fenomena ini secara lebih dalam, serta mulai memikirkan solusi penanganannya sejak dini," tukas laporan tersebut.

 

 

Simak video tentang penegasan anggota G20, kecuali AS, dalam mengatasi perubahan iklim berikut: 

Setengah dari Kehidupan Alam Liar Terancam Punah dalam 100 Tahun Mendatang

Kura-Kura Raksasa Galapagos
Seekor kura-kura raksasa Galapagos di Taman Nasional Galapagos, Ekuador, 12 September 2017. Kura-kura Galapagos makan rumput, dedaunan, kaktus dan buah tapi bisa bertahan hidup sampai setahun tanpa makanan dan air. (HO / GALAPAGOS NATIONAL PARK / AFP)

Sementara itu, mengutip laporan yang dirilis oleh Time.com pada Kamis, 15 Maret 2018, sebanyak setengah dari kehidupan alam liar dan 60 persen tanaman di banyak hutan besar di dunia terancam punah dalam satu abad ke depan. Hal itu sangat mungkin terjadi jika manusia tidak segera bertindak menanggulangi pemanasan global.

Pernyataan di atas didapat dari hasil penelitian ilmiah oleh World Wildlife Fund, bekerja sama dengan Universitas Anglia Timur dan Universitas James Cook, yang dimuat di jurnal Climatic Change.

Hasil penelitian tersebut memperingatkan bahwa pemanasan global dan beragam fenomena terkait, seperti badai ekstrem, tidak teraturnya curah hujan, serta kekeringan panjang, dapat menimbulkan ancaman keras terhadap kelangsungan banyak biodiversitas, seperti lembah Sungai Amazon, Kepulauan Galapagos, bagian tenggara Australia, serta pantai-pantai di kawasan Eropa dan Karibia.

"Hari-hari yang semakin panas, kekeringan dalam waktu panjang, dan berbagai bencana intens lainnya akan dianggap 'kenormalan' baru, tapi mengancam kelangsungan makhluk hidup di banyak bagian di Bumi," ujar Nikhil Advani, ahli cuaca yang memimpin penelitian terkait.

Studi terkait meneliti kemungkinan dampak perubahan iklim pada hampir 80.000 spesies tanaman dan hewan di 35 biodiversitas terbesar di dunia.

Mereka meneliti tiga skenario pemanasan global, yaitu peningkatan suhu Bumi sebanyak 2 derajat Celsius, ambang batas Perjanjian Paris, dan kenaikan suhu Bumi sebesar 3,2 derajat Celsius yang diperingatkan oleh PBB.

Ketiga skenario tersebut, justru diketahui kian parah terjadi saat ini. Kenaikan suhu tercatat berpotensi menyentuh angka 4,5 derajat Celsius pada akhir abad ke-21.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya