Solastalgia, Bentuk Kerinduan di Tengah Ancaman Perubahan Iklim Global

Menanggapi perubahan iklim, muncul istilah solastalgia, yang merujuk pada kerinduan terhadap 'kedamaian' di masa lalu. Ini penjelasannya.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 14 Mar 2018, 06:54 WIB
Diterbitkan 14 Mar 2018, 06:54 WIB
kendeng
Hamparan tanaman tembakau yang di masa lalu dianggap "emas hijau" bagi VOC, menyehatkan mata dan pandangan. (foto: Liputan6.com/dok.JM-PPK/edhie prayitno ige)

Liputan6.com, New York - Istilah solastalgia mulai banyak disebut sejak awal Abad ke 21, yakni ketika isu perubahan iklim menggema sebagai ancaman baru bagi kehidupan manusia.

Bukan hanya di ranah akademik, kata ini juga mulai populer diungkapkan di media, khhususnya media cetak.

Beberapa tokoh kenamaan dunia diketahui aktif mengunakan istilah, seperti Leonardo DiCaprio misalnya, yang hampir selalu menyelipkan kata tersebut di banyak orasinya tentang lingkungan.

Dilansir dari Newsweek pada Selasa (13/3/2018), solastalgia berasal dari gabungan dua kata 'solace' yang berarti pelipur lara dan 'nostalgia' yang berarti upaya mengenang kejadian lalu. 

Menariknya, seperti yang sebelumnya disebut di atas, solastalgia berkaitan erat dengan isu perubahan iklim, yakni perasaan rindu terhadap kondisi lingkungan di era dulu.

Sebagai contoh, ketika terjadi kebakaran lahan yang cukup luas di California pada 2017 lalu, banyak media setempat (dan bahkan para warganya) berkeluh kesah dengan menyelipkan istilah tersebut di dalamnya. Mereka rindu suasana California dulu kala yang cukup hijau dan tidak sekering saat ini.

Bukan hanya sebatas omongan, perasaan rindu tersebut mampu menggerakkan masyarakat untuk bertindak melakukan upaya penghentian dampak buruk perubahan iklim.

Hal tersebut dilakukan melalui kampanye penyelamatan lingkungan secara swadaya, mendorong pemerintah berlakukan aturan khusus mengenai penyelamatan lingkungan, dan masih banyak lainnya.

 

Simak video mengenai penampakan gunung es patah akibat perubahan ilklim berikut: 

Wanita Paling Terdampak Perubahan Iklim

20151006-Puluhan Juta Orang di Afrika Terancam Kelaparan Karena Fenomena El Nino-Zimbabwe
Sejumlah wanita mengambil bantuan makanan dari World Food Programme di Chiredzi Mupinga, Zimbabwe, Selasa (6/10). Puluhan juta orang di wilayah sub-Sahara Afrika akan mengalami kelaparan akibat siklus El Nino mencapai puncaknya.(REUTERS/Philimon Bulawayo)

Sementara itu, sebuah penelitian terbaru yang dilakukan oleh PBB, menunjukkan bahwa wanita terkena dampak perubahan iklim yang lebih buruk dibandingkan pria, yakni hampir mencapai 80 persen.

Di banyak negara, peran wanita dalam mengurusi makanan dan bahan bakar rumah membuatnya lebih rentan menjadi korban, ketika bencana banjir dan kekeringan melanda.

Perjanjian Paris tentang perubahan iklim yang ditandantangani pada 2015 lalu, turut menyoroti isu tentang pemberdayaan wanita, di mana kekeringan yang melanda Danau Chad di bagian tengah Afrika, digunakan sebagai contoh studi kasus. Demikian dilansir dari BBC pada Kamis, 8 Maret 2018.

Saat ini, sebanyak hampir 90 persen luas Danau Chad telah kehilangan massa air. Hal tersebut mengancam kehidupan banyak komunitas masyarakat yang tinggal di sekitarnya, termasuk para wanita yang terpaksa berjalan lebih jauh untuk mendapatkan air bersih.

"Saat musim kering, para pria pergi ke kota, meninggalkan para istri untuk mengurusi keluarganya seorang diri," jelas Hindou Oumarou Ibrahim, coordinator pada Asosiasi Wanita dan Masyarakat Asli Chad (AFPAT).

Di saat musim kering berlangsung lebih panjang saat ini, akibat perubahan iklim, wanita di sekitar Danau Chad harus berkerja lebih keras untuk memberi makan dan mengurusi keluarganya.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya