15-8-1974: Tembakan untuk Presiden Korsel Meleset dan Mengenai Ibu Negara

Presiden Korea Selatan Park Chung-hee sedang menyampaikan pidatonya saat tembakan yang diarahkan kepadanya meleset. Insiden dramatis itu berakhir dengan kematian ibu negara dan seorang gadis.

oleh Elin Yunita Kristanti diperbarui 15 Agu 2018, 06:00 WIB
Diterbitkan 15 Agu 2018, 06:00 WIB
Presiden Korea Selatan Park Chung-hee dan istrinya Yuk Young-soo (AP)
Presiden Korea Selatan Park Chung-hee dan istrinya Yuk Young-soo (AP)

Liputan6.com, Seoul - Pagi itu, 15 Agustus 1974, Presiden Korea Selatan Park Chung-hee sedang menyampaikan pidato memperingati hari kemerdekaan di Seoul National Theater of Korea.

Park Chung-hee tak sadar, ia sedang jadi target pembunuhan. Mun Se-gwang, simpatisan Korea Utara, berniat menghabisi sang presiden. Awalnya, pelaku berniat menembakkan senjatanya, revolver Smith & Wesson kaliber 38 di lobi teater. Namun, penglihatannya terhalang banyak orang.

Karena ia bicara bahasa Jepang, polisi mengiranya sebagai tamu undangan dan membiarkan pria itu masuk. Mun Se-gwang kemudian duduk di bagian belakang.

Saat Presiden Park menyampaikan pidatonya di depan sekitar 1.500 orang, pelaku berusaha mendekat. Namun, peluru melesat prematur yang justru melukai dirinya sendiri.

Situasi sontak panik. Para petugas keamanan bersiap meringkusnya. Merasa terpojok, Mun Se-gwang menembakkan pelurunya secara liar ke arah targetnya. Peluru keduanya menghantam sisi kiri podium di mana Presiden Park menyampaikan pidatonya.

Amunisi ketiga tak mengenai apapun, sementara pelurunya yang keempat mengenai kepala Yuk Young-soo, sang ibu negara yang kala itu sedang duduk di atas panggung. Dan, timah panas terakhirnya melewati bendera yang menghiasi bagian belakang panggung.

Sementara, sebuah peluru yang ditembakkan Park Jong-gyu, salah satu pengawal presiden memantul ke dinding dan menewaskan seorang siswi SMU, Jang Bong-hwa. Gadis 17 tahun tersebut ada di sana sebagai bagian dari kelompok paduan suara.

Setelah pelaku dibekuk, Park Chung-hee melanjutkan pidatonya, meski sang istri yang terluka parah digotong dari atas panggung. "Saya akan melanjutkan pidato saya...," kata dia seperti dikutip dari The New York Times, Selasa (14/8/2018).

Tepuk tangan membahana setelah pidatonya selesai diucapkan. Presiden Park bangkit sesuai jadwal acara, mengambil tas dan sepatu sang istri dan melangkah pergi menuju rumah sakit.

Yuk Young-soo dilarikan ke Seoul National University Hospital di Wonnam-dong di pusat kota Seoul. Dr. Shim Bo-seong, kepala departemen bedah saraf di RS itu, kemudian melakukan tindakan operasi selama pada pukul 11.00. Operasi berlangsung lima jam.

Peluru merusak pembuluh darah terbesar di sisi kanan otak korban dan tetap bersarang di otak. Operasi tidak dapat menyelamatkan hidupnya dan Ibu Negara Korea Selatan, Yuk Young-soo meninggal pada pukul 19.00.

Lima tahun kemudian, pada 26 Oktober 1979, Park Chung-hee tewas ditembak saat makan malam. Pelakunya adalah kepala badan intelijen Korsel (KCIA), Kim Jae-gyu.

Peristiwa yang dikenal sebagai insiden '10.26' mengakhiri 18 tahun kediktatoran Park Chung-hee.

"Ini adalah sebuah revolusi untuk menghidupkan kembali demokrasi liberal yang hancur oleh Park. Rakyat Korsel, silakan menikmati demokrasi yang utuh," kata Kim Jae-gyu, sebelum hukuman mati dijatuhkan kepadanya, seperti dikutip dari Korea Times.

Nasib tragis keluarga Park ternyata berlanjut beberapa dekade kemudian.

Mantan Presiden Korsel Park Geun-hye dengan tangan diborgol tiba di Pengadilan Distrik Pusat Seoul, Korea Selatan (23/5). Park Geun-hye menjalani sidang perdana atas serangkaian tuduhan korupsi yang dialamatkan kepadanya. (Kim Hong-ji/Pool Photo via AP)

Putri mereka, Park Geun-hye, yang berusia 22 tahun saat menggantikan posisi ibunya sebagai 'ibu negara', terpilih sebagai Presiden Korea Selatan pada 2012. Ia perempuan pertama yang jadi orang nomor satu di Negeri Ginseng.

Namun, eks presiden Korea Selatan itu dilengserkan paksa bahkan divonis 24 tahun dalam kasus korupsi.

 

Gempa di Tibet Picu Kehancuran di India

Gempa Bumi
Ilustrasi Gempa Bumi (iStockphoto)

Selain pembunuhan ibu negara Korea Selatan, sejumlah kejadian bersejarah terjadi pada tanggal 15 Agustus.

Misalnya, pada Selasa 15 Agustus 1950. Kala itu rakyat India sedang merayakan hari kemerdekaannya. Sudah tiga tahun negara tersebut lepas dari kekuasaan Britania Raya.

Suasana perayaan dirasakan hingga sudut terpencil di timur laut India, di Lembah Assam, yang dibingkai pegunungan yang berdiri gagah. Namun, Bumi tiba-tiba berguncang hebat pada pukul 19.40.

Episentrum berada 20 mil atau 32 kilometer jauhnya, di Kota Rami di Tibet. Namun, kerusakan paling parah berada di Assam. Lindu luar biasa kuat sehingga memicu tanah longsor yang menyumbat sejumlah aliran sungai di wilayah pegunungan.

Perdana Menteri India, Jawaharlal Nehru yang mengunjungi wilayah paling terdampak mendeskripsikan apa yang terjadi ketika sumbatan itu jebol. "Air mengalir deras, suaranya menderu, tembok air tinggi menyapu dan membanjiri area yang luas, menerjang desa-desa, persawahan, dan kebun-kebun," kata dia seperti dikutip dari situs Berkeley Seismology Lab, seismo.berkeley.edu, Selasa (14/8/2018).

"Air sungai berubah warna, bercampur sulfur dan material lain yang menyebarkan bau memuakkan. Ikan-ikan di dalamnya mati. Desa yang tinggal puing, hewan-hewan, termasuk ternak dan gajah, dan banyak bongkahan kayu mengapung di tengah bah. Sawah-sawah rusak, hasil panen tersapu bersih, dan sejumlah kebun teh juga hancur."

Akibatnya sungguh parah. Sebanyak 2.000 rumah, kuil, dan masjid hancur. Korban jiwa lebih dari 1.500 orang tewas.

Sementara, lebih dari 3.300 orang dilaporkan meninggal dunia di China. Total korban jiwa akibat gempa hari itu mencapai 4.800 orang.

Selain itu, pada 2005, konflik GAM-RI berakhir dengan penandatanganan nota kesepahaman di Helsinki, Finlandia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya