8-8-1973: Politikus Korea Selatan Diculik Atas Perintah Presiden

Politikus Korea Selatan, Kim Dae-jung diculik di Hotel Grand Palace di Chiyoda Ward, Tokyo, Jepang pada 1973. Belakangan terkuak, pelakunya adalah agen mata-mata atas perintah persiden.

oleh Elin Yunita Kristanti diperbarui 08 Agu 2018, 06:00 WIB
Diterbitkan 08 Agu 2018, 06:00 WIB
Presiden Korea Selatan, Kim Dae-jung dan pemimpin Korut Kim Jong-il berpegangan tangan sebelum menandatangani perjanjian di tengah pertemuan bersejarah antara dua Korea di Pyongyang pada 14 Juni 2000.
Presiden Korea Selatan, Kim Dae-jung dan pemimpin Korut Kim Jong-il berpegangan tangan sebelum menandatangani perjanjian di tengah pertemuan bersejarah antara dua Korea di Pyongyang pada 14 Juni 2000 (AFP-JIJI)

Liputan6.com, Seoul - Pada 8 Agustus 1973, politikus Korea Selatan, Kim Dae-jung diculik di Hotel Grand Palace di Chiyoda Ward, Tokyo, Jepang. Penculik beraksi di siang bolong, sekitar pukul 13.19 waktu setempat saat target meninggalkan Kamar Nomor 2212, lokasi digelarnya rapat dengan para petinggi Partai Persatuan Demokrasi (Democratic Unification Party).

Ia kemudian dibawa ke Seoul naik kapal, dan baru dibebaskan di jalanan ibu kota Korsel itu lima hari kemudian.

Kim mengaku, para penculiknya nyaris menceburkannya ke laut beberapa hari setelah penculikan. Namun, upaya itu terhenti ketika helikopter militer AS terbang rendah di atas kapal tersebut.

Seperti dikutip Japan Times, Selasa (7/8/2018), Kim berada di Tokyo atas undangan anggota parlemen Jepang untuk meningkatkan dukungan untuk gerakan prodemokrasinya.

Kim, yang kala itu berusia 47 tahun adalah penantang serius bagi kediktatoran Park Chung-hee. Ia nyaris mengalahkan Park dalam pemilihan presiden 1971. Setelah hasil pilpres yang tak terduga itu, Park merevisi Konstitusi untuk menjamin kemenangannya sendiri dalam pemilu mendatang.

Sidik jari Kim Dong-woon, sekretaris pertama Kedubes Korsel di Jepang memicu kecurigaan bahwa badan intelijen Seoul terlibat dalam penculikan tersebut. Polisi menuntut hak untuk memeriksa pejabat kedutaan itu, namun ia menggunakan kekebalan diplomatiknya untuk menghindar dari pemeriksaan polisi.

Meski publik Jepang dikejutkan dengan kemungkinkan keterlibatan Seoul dalam penculikan tersebut, aparat Jepang gagal untuk menggali lebih dalam kasus tersebut. Hubungan kedua negara pun tegang.

Pada November 1973, Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka membuat perjanjian rahasia dengan koleganya, Kim Jong-pil -- yang berujung pada keputusan Seoul minta maaf dan berjanji untuk memecat sekretaris kedubes.

Kebenaran Terkuak

Namun, kebenaran pasti terkuak. Pada 2007, panel pencari fakta Badan Intelijen Nasional Korea Selatan (National Intelligence Service) mengatakan, pihaknya tak bisa mengenyampingkan kemungkinan bahwa mantan presiden, Park Chung-hee mungkin memberikan perintah langsung untuk menculik Kim Dae-jung, rival politiknya.

"Diperkirakan setidaknya ada izin secara implisit dari Park," demikian menurut panel, seperti dikutip dari New York Times.

Laporan tersebut adalah untuk kali pertamanya Pemerintah Korsel mengakui keterlibatan Park dalam penculikan itu, meskipun banyak warga Korea Selatan percaya bahwa pemimpin yang didukung militer, yang memerintah negara itu selama 18 tahun dengan tangan besi menyusul kudeta tahun 1961, adalah dalang penculikan.

Panel NIS didirikan pada 2004 sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk menjelaskan kecurigaan yang berkepanjangan soal agen mata-mata, yang dituduh digunakan penguasa pada masa lalu untuk tujuan politiknya, termasuk menindas para pembangkang.

Namun, panel tersebut tak menyimpulkan secara pasti apakah pemculikan tersebut berniat untuk membunuh Kim. Meski, pengakuan muncul dari manan anggota Korean Central Intelligence Agency -- cikal bakal NIS bahwa badan mata-mata itu mempertimbangkan meminta bantuan yakuza untuk membunuh Kim.

 

Saksikan video menarik terkait Korea Selatan berikut ini:

Meraih Nobel

Kim Dae-jung dianugerahi Nobel Perdamaian atas upayanya mewujudkan rekonsiliasi dengan pihak Korut.
Kim Dae-jung dianugerahi Nobel Perdamaian atas upayanya mewujudkan rekonsiliasi dengan pihak Korut (AFP)

Kekuasaan Park Chung-hee, sang dalang penculikan, berakhir tragis. Ia tewas dibunuh oleh kepala intelijennya sendiri pada 1979. Penerusnya, Chun Doo-hwan kemudian mengambil alih kekuasaan dalam sebuah kudeta militer.

Pemerintahan junta militernya kemudian menerapkan dakwaan palsu terhadap Kim Dae-jung pada 1980 atas pemberontakan pro-demokrasi di provinsi asalnya, Gwangju.

Pengadilan militer memvonis Kim dengan hukuman mati, tetapi ia diizinkan pergi untuk pengasingan di Amerika Serikat pada tahun 1982. Atas desakan sejumlah tokoh dunia, termasuk Paus Yohanes Paulus II, vonis tersebut diringankan jadi 20 tahun bui.

Kim yang kemudian kembali ke kampung halamannya, menjalani tahanan rumah, dan kemudian takdir membawanya terpilih sebagai presiden pada tahun 1997 -- membuatnya menjadi pemimpin oposisi Korea Selatan pertama yang berkuasa.

Kim Dae-jung menjabat sebagai Presiden Korsel sejak 1997-2003. Pada tahun 2000 ia dianugerahi Nobel Perdamaian atas upayanya mewujudkan rekonsiliasi dengan pihak Korut.

Tak hanya penculikan Kim Dae-jung, sejumlah peristiwa bersejarah juga terjadi pada 8 Agustus.

Pada 1503, Raja James IV dari Skotlandia menikahi Margaret Tudor, putri Raja Henry VII dari Inggris di Holyrood Abbey, Edinburgh, Skotlandia.

Sementara, pada 1929, pesawat Jerman Graf Zeppelin memulai penerbangan keliling dunia.

Dan pada 8 Agustus 1967, Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) didirikan oleh Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya